Arief Poyuono beberapa hari sebelumnya mengeluarkan manuver dengan membuat pernyataan yang menyinggung kasus dugaan pelanggaran HAM Prabowo Subianto.
Menurut Poyuono, Gerindra perlu mempersiapkan dengan matang pencalonan Prabowo pada Pilpres 2024. Poyuono menilai Gerindra perlu "membersihkan" nama Prabowo dari tuduhan pelanggaran HAM 1998.
Menurut Poyuono, kekalahan Prabowo dalam dua pilpres sebelumnya disebabkan kasus pelanggaran HAM yang sering dimunculkan dilansir dari detik.com, 16/9.
Menerka
Menerka-nerka maksud dari Poyuono "menyenggol" Prabowo bagi penulis bentuk manuver karena beliau tidak lagi masuk dalam jajaran pengurus partai Gerindra.
Karena itulah membuat Poyuono lebih bebas dalam mengeluarkan pendapat dan tidak mengatasnamakan Gerindra lagi atau atas pribadinya sendiri. Poyuono bisa mengkritik dan menyerang siapa saja baik itu partai politiknya, pemerintah maupun politisi lainnya.
Inilah yang membuat beliau "menyenggol" Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto karena kebebasan tadi.
Hal lain yang penulis cermati dari senggolan itu adalah rasa kecewa, entah itu ada masalah di internal maupun karena tidak masuk lagi dalam jajaran pengurus Gerindra.
Sesuatu hal yang tabu bila seseorang merasa kecewa dengan orang lain dilampiaskan dengan sebuah serangan-serangan personal. Apalagi ini masalah politik yang kita tahu lebih banyak dihiasi dengan gimick-gimick, dengan manuver-manuver politik yang begitu tajam.
Apa yang dilakukan Poyuono itupun sesuatu hal yang wajar di dalam ranah politik kita dan itu bukan hal yang baru. Bisa kita lihat selama ini bagaimana manuver para politisi terhadap politisi lainnya dan pada partai politik lainnya.
Bisa kita lihat bagaimana politisi menyerang pemerintah saat ini dengan kata-kata kasar dan kadang menyerang personal. Itulah bagian dari manuver politik para politisi kita yang dianggap tabu.