Namanya provokator memang sudah sangat kental terjadi dalam kehidupan kita. Sebagai contoh saja, dulu sewaktu saya sekolah ada-ada saja teman yang ingin mengadu domba teman yang satu dengan teman lainnya.
Apalagi kalau ada masalah kecil antar teman, selalu saja ada orang ketiga yang memanas-manasinya atau sering disebut kompor. Dengan cara itu membuat teman menjadi emosi dan akhirnya berkelahi.
Misal kata-katanya begini, " kok gak marah kau digituin dia, hajar aja, tumbuk aja, gak berani kau". Kira2 begitu bahasa sehari-hari di daerah saya.
Hal itu masih saya ingat sewaktu duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA), ada teman yang diadu oleh pihak ketiga supaya berkelahi dan akhirnya terjadi.
Di dalam kehidupan kita sehari-hari pun pasti demikian. Itulah namanya provokator alias kompor.
Hal itu pula yang terjadi dalam beberapa hari ini, dimana diberitakan pihak kepolisian menangkap provokator penolakan pemakaman jenazah positif Covid-19.
Akibat itu juga Ridwan Kamil (Emil) Gubernur Jawa Barat meminta aparat keamanan menindak tegas setiap pengganggu keamanan dan kenyamanan warga termasuk provokator di masa Pandemi Covid-19 (Media Indonesia.com, 12/4/2020).
APA UNTUNGNYA?
Terkait itu, menjadi pertanyaan adalah apa untungnya menjadi provokator?. Apakah bisa dapat makan dari itu?. Malah yang dapat adalah masalah hukum yakni ditangkap dan diproses pihak kepolisian.
Tetapi, bisa-bisanya ada provokator dibalik penolakan pemakaman jenazah positif Covid-19 atau Corona. Ini sangat memprihatinkan sekali.
Tidak ada rasa kemanusiaan, rasa empati dan simpati. Menghimpun masyarakat untuk beramai-ramai menolak pemakaman jenazah positif Corona.