Lihat ke Halaman Asli

Juan Manullang

Penulis Lepas

Media Cetak Jangan Sampai "Punah"

Diperbarui: 19 Desember 2019   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Ilustrasi gambar, Kompas/Handining

Di era digital saat ini memang membawa kebaikan bagi kita karena sekarang dalam hal pekerjaan mengirim pesan, mengirim barang dan pelayanan publik pun sudah identik dengan digital.

Tetapi, ada yang membuat miris ketika era digital tersebut membuat media cetak tergerus hingga "punah" karena masyarakat cenderung fokus sibuk menggunakan media daring atau online, sehingga mengabaikan media cetak. Belum lagi banjirnya para konten creator membuat banyak orang beralih kesana.

Bukan itu saja, harga kertas yang juga naik, sehingga saat ini banyak media cetak seperti koran naik harganya. Ada lagi, iklan-iklan yang sering terpampang nyata di media cetak kini beralih ke media daring.

Ya, akibat era digital membuat media cetak sulit bersaing dengan media daring maupun aplikasi digital lainnya.

Saya sebagai penulis juga di berbagai media cetak di Indonesia, khusus paling sering di media cetak yang ada di Kota Medan melihat bagaimana sulitnya media cetak bersaing di era digital ini.

Berbagai koran di Medan contohnya sudah membatasi halaman cetaknya. Begitu juga ruang untuk menulis agak sedikit dipersempit. Bahkan, ada salah satu koran di Kota Medan yang fokus pada isu ekonomi sudah tutup atau tidak terbit lagi.

Bukan hanya di Medan saja itu terjadi. Koran nasional pun demikian. Harian Kompas contohnya, saya tiap Minggu memang membeli harian Kompas untuk dibaca. 

Akan tetapi, saya perhatikan, koran Kompas sedikit membatasi kolom opininya yang biasa saya lihat antara 3, 4 sampai 5 tulisan nangkring di dalamnya. Tapi kini agaknya berkurang. Begitu juga halaman beritanya pernah sampai 32 halaman, rata-ratanya sampai sekitar 28 halaman.

Kondisi ini membuat saya bersedih. Begitu sangat bersedih. Biasa saya bisa sering nangkring di koran-koran, kini ruang itu semakin sempit.

Begitu juga dengan penulis di media cetak lainnya juga pasti sama dengan saya. 

Kalau begini, kemana lagi celotehan dan kritikan ini mau disampaikan? Apakah harus diungkapkan di Facebook, Twitter dan lainnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline