Hari-hari berlalu dengan cepat, tak terasa masa bersantai ku sudah tenggat. Kini, saatnya aku tiba di tempat kerjaku yang baru. Semangat yang membara menuntun langkahku menuju ruang kerja sambil tersenyum. Melihat sekitar dengan ramah sembari membayangkan masa depan yang cerah, hingga kadang lupa bahwa aku masih di bawah. Mungkin sulit untuk meninggalkan masa lalu, namun bukan berarti masa yang akan datang tidak seru. Bertemu dengan orang-orang baru, menghadapi tantangan baru, dan menjalankan kebiasaan baru akan memberikan euforia tersendiri bagiku. Selayaknya orang yang masih baru, memberi salam dan hormat akan menjadi makanan sehari-hari. Bukan maksud diri untuk bermuka dua, tetapi itulah yang dinamakan dengan etika. Membangun hubungan dan kepercayaan adalah tujuanku saat ini.
Dua-tiga hari berlalu, aku mulai mengenal satu dengan yang lain. Sudah sepantasnya aku harus beradaptasi dengan budaya organisasi. Memahami berbagai aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang ada di perusahaan. Memegang tanggung jawab penuh dan menyelesaikan tugas hingga tuntas. Hal itu aku lakukan bukan semata-mata hanya untuk bekerja. Tetapi, diri ini juga ingin mengukir prestasi guna mengangkat derajat keluarga. Tidak sampai di situ, membangun jaringan dengan orang lain dan memiliki rekan kerja yang saling mendukung juga masuk ke dalam daftar keinginanku. Namun, setelah aku menjalani kehidupan di lingkungan kerjaku yang baru, ternyata kenyataan jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan. Mungkin, semua ini berawal dari ekspektasi ku yang terlalu tinggi terhadap perusahaan.
Ekspektasi yang indah telah membutakan mataku. Aku lupa bahwa segala sesuatu tidak harus terjadi sesuai dengan keinginanku. Tak diacuhkan oleh lingkungan pekerjaan, memiliki atasan yang arogan, dan bekerja di bawah tekanan harus aku terima mentah-mentah. Mataku yang semula tertutup, kini mulai terbuka dengan hal-hal yang berbanding terbalik dengan apa yang aku harapkan. Apa aku harus ikut tidak peduli dengan lingkungan kerjaku? Apa aku harus menjudge atasanku? Dan apakah aku harus menyerah lalu mengundurkan diri dari pekerjaanku?
Jika aku membalas sesuatu yang tidak aku sukai dengan keburukan, rasanya dalam diriku belum ada kebijaksanaan. Mungkin, ketika aku membalas dengan perlakuan yang sama, hati ini akan terasa senang untuk sesaat. Akan tetapi, dampak yang mungkin terjadi adalah rusaknya hubungan antara diriku dengan lingkungan kerjaku. Padahal, seandainya ego ini lebih rendah dari pada keinginan hati, maka aku bisa memiliki hubungan yang dekat dengan lingkungan kerjaku, termasuk dengan atasanku. Terkadang, rencana yang telah kita bangun seketika hancur hanya karena ego kita yang terlalu tinggi.
Mengontrol emosi memang tidak semudah kata, namun kita dapat melatihnya. Melihat dampak buruk dari sebuah keputusan yang salah, membuat diriku memilih untuk menjadi seorang yang beramanah. Menggunakan waktu luang untuk membangun relasi dengan rekan kerja, meninggalkan kesan positif di lingkungan kerja, dan mengikuti iklim organisasi dengan lebih bersahaja. Upaya-upaya tersebut lebih baik dari pada kecewa dan menyerah begitu saja. Karena sesuatu yang kita tabur saat ini akan berbuah di kemudian hari.
Setahun sudah aku bekerja. Sekarang aku sudah menjadi karyawan tetap. Rekan kerjaku yang semula tidak acuh terhadap kedatanganku, kini mereka sudah menjadi sahabat karibku. Kami bersahabat di dalam maupun di luar perusahaan. Tak jarang kami meluangkan waktu untuk hang out bersama. Saat ini, bekerja menjadi terasa menyenangkan karena aku merasa nyaman berada di lingkungan kerja. Seketika, aku teringat ketika aku masih menjadi pekerja magang. Lucu rasanya membayangkan bagaimana jika dahulu aku lebih memilih untuk menyerah. Pasti saat ini aku sudah dihantui oleh rasa bersalah.
Menjelang pergantian tahun, perusahaan mengumumkan bahwa akan ada promosi jabatan bagi karyawan pemilik poin tertinggi dalam keaktifan. Mendengar hal itu, aku segera membulatkan niatku untuk mengumpulkan poin sebanyak mungkin. Aku bukanlah orang yang ambisius, tapi ada waktu dimana aku harus serius. Oleh karena itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan poin. Suatu hari, aku mengajak rekan kerjaku untuk pergi ke sebuah cafe. Tetapi, aku terkejut karena dirinya memberikan respon yang dingin kepadaku. Seketika, aku bertanya-tanya mengapa dirinya memberikan respon seperti itu. Aku mencoba untuk kembali berkomunikasi dengannya, namun responnya tetap sama.
Walaupun isi hati manusia tak dapat didengar. Tetapi, kita sebagai manusia memiliki kepekaan terhadap sekitar. Aku mungkin tidak tahu secara pasti tentang apa yang dimaksud oleh rekan kerjaku. Akan tetapi, aku merasa bahwa niatku untuk mendapatkan poin membuat dirinya tersaingi olehku. Kini, aku berada dalam sebuah konflik dengannya. Konflik persaingan yang membuat hubungan kerja dan sahabat kalah dengan kepentingan masing-masing. Aku memandang rekan kerjaku sebagai penghalang dari kepentinganku. Meskipun begitu, aku mencoba untuk memahaminya dan lebih fokus terhadap diriku sendiri. Aku tahu bahwa di dalam perusahaan kita dituntut untuk melakukan yang terbaik, sehingga timbul rasa kompetitif diantara karyawan.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai tidak nyaman dengan situasi ini. Ingin rasanya untuk kembali seperti dulu namun gengsi berkata lain. Sepulang kerja, juru parkir yang biasa menata kendaraan di tempatku bekerja tiba-tiba menghampiriku dan berkata.
"Kok tumben gak pulang bareng Pak Rizal? Biasanya kan bapak kalo pulang bareng dia."
"Hehe.. dia gak ngajakin pulang bareng jadi saya pulang sendiri,"
"Tapi emang kita udah jarang main bareng juga sih." Jawab ku.
"Loh padahal dia tiap hari nanyain bapak udah pulang apa belum." Balasnya.
Aku terkejut mendengar ucapan tersebut. Aku kembali bertanya-tanya di dalam benakku, "apakah selama ini aku salah mengira?". Hati ini tidak tenang semalam suntuk. Mungkinkah rekan kerjaku merasa tersaingi? Atau itu hanyalah persepsi yang kubentuk? Tak ada jawaban yang ku dapat malam itu. Keesokan harinya, aku memberanikan diri untuk menemuinya dan berkomunikasi dengannya.
Seketika aku bertemu dengannya, ia menyapaku sambil tersenyum. Seolah-olah tidak ada yang terjadi selama ini. Kemudian, dirinya mengajakku untuk makan siang bersama. Ditengah perjalanan, aku bertanya kepadanya mengapa dirinya pernah bersikap dingin padaku. Dia langsung meminta maaf dan memberitahu bahwa pada hari itu adiknya dilarikan ke rumah sakit karena mengalami kecelakaan. Setelah mendengar kabar itu, diri ini terbujur kaku dan membisu. Membayangkan betapa bersalahnya aku pada waktu itu. Sesaat kami berdua sedang makan siang, aku langsung menceritakan apa yang sudah aku lakukan kepadanya. Ternyata semua itu hanya kesalahpahaman belaka. Aku meminta maaf dan dia tidak masalah dengan hal itu. Hubungan kami yang sempat renggang, kini dapat pulih kembali seperti dahulu. Saat ini, aku menjalani hari-hariku dengan tenang.
Waktu yang terasa begitu cepat, sebenarnya tidak benar-benar cepat. Jatuh bangun menjadi proses dalam hidup ini. Layaknya roda yang terus berputar, kita bertumbuh dan belajar. Kesempatan datang seperti pencuri. Jika tidak diambil, maka akan terganti. Walaupun ragu, berjuang lebih mudah daripada mempertahankan. Oleh karena itu, aku belajar dari kesalahan. Agar kelak nanti, aku bisa menjadi versi terbaik dari diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H