Lihat ke Halaman Asli

Euella Thaline

Menulis Tiada Henti

SBMPTN, Sebuah Kemenangan Anak Bangsa

Diperbarui: 4 Juli 2018   04:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi: sumsel.tribunnews.com)

Akhirnya saya percaya bahwa semangat dan keinginan akan melumpuhkan tantangan. Saya mengenal seorang anak remaja, Rotua, dari sebuah kota terpencil dari Sumatera Utara yang terlahir dari keluarga yang berkekurangan dan memiliki 7 saudara kandung. Kategori keluarga besar dengan pekerjaan orangtua hanya sebagai penjual es cendol keliling.

Sebagai anak sulung, rasa tanggungjawab yang dimilikinya untuk membantu keluarga sangat luar biasa. Segala hal akan dia lakukan tanpa mengenal lelah dan malu. Bekerja dan menjadi upahan di rumah ataupun ladang tetangga sepulang sekolah akan dia kerjakan demi membantu orang tua.

Ada niat dihatinya untuk mengecap pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun melihat kondisi keluarga yang sangat jauh dari mungkin untuk mencapainya, akhirnya dia ikhlaskan untuk mengubur keinginannya.

Sampai akhirnya dia menyelesaikan pendidikannya di tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Kondisi yang membuatnya dilema.

Masih menjadi sebuah pola pikir umum sebagian masyarakat, khususnya di daerah, pendidikan cukup sampai SLTA, selanjutnya bekerja mencari uang. Dan tentunya di satu sisi, pola pikir ini tidak bisa dibenarkan seutuhnya. Karena Bangsa Indonesia membutuhkan generasi-generasi penerus yang berpendidikan, kreatif dan inovatif.

Namun memang kendalanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah, pilihan untuk langsung bekerja menjadi pilihan yang paling cepat mengingat biaya pendidikan khsusnya pendidikan setara perguruan tinggi yang saat ini tidaklah murah.

Awalnya, tekad Rotua sudah bulat untuk mencari pekerjaan dengan harapan dapat membantu orangtuanya menghidupi keluarga dan adik-adiknya. Namun, hatinya bimbang dengan tawaran Bu Wita yang sedang membutuhkan pengasuh bayi dengan janji akan memfasilitasinya untuk menikmati jenjang pendidikan perguruan tinggi dengan segala biaya yang akan ditanggung Bu Wita setelah satu tahun berikutnya.

Tawaran ini membuatnya harus berpikir keras. Seandainya dia langsung kerja, dia dapat membantu kebutuhan keluarga tetapi taraf hidupnya tidak akan bisa lebih baik dengan hanya pendidikan SLTA.

Sebaliknya, seandainya dia menerima tawaran kuliah sambil kerja sebagai pengasuh bayi,  dia tidak akan bisa membantu kebutuhan keluarga, namun taraf nilai jualnya sudah lebih tinggi dengan pendidikan sarjana kelak. Belum lagi keraguan akan kebenaran tawaran tersebut. Dia khawatir, tawaran tersebut hanya fiktif demi tercapainya kebutuhan bu Wita.

Keluarga Rotua bukanlah keluarga yang memaksakan kehendak. Meskipun orangtuanya tau bahwa Rotua akan sangat membantu kondisi keluarga jika dia langsung bekerja, namun dalam kondisi ini, keluarga Rotua tetap memberikan otoritas penuh buat Rotua untuk memutuskan masa depannya.

Dengan segala pertimbangan, akhirnya Rotua memutuskan untuk mengikuti Bu Wita bekerja mengasuh anak-anak Bu Wita ke luar kota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline