Luas tidaknya wawasan seseorang bisa dinilai dan diukur dari beberapa indikator. Salah satunya, menurut saya adalah melalui aktivitas membaca. Bagaimana orang bersikap dan bertutur kata itu juga merupakan refleksi dari membaca. Selain menambah wawasan serta informasi, membaca ternyata juga bermanfaat dalam menghilangkan stress.
Meskipun membaca merupakan aktivitas mudah dan sederhana, masalah dan hambatan untuk membaca tetap saja selalu ada. Alasannya pun klasik dan beragam, mulai dari tidak ada waktu, sibuk dengan pekerjaan/kegiatan sehari-hari, tidak ada internet, malas, hingga alasan terakhir, yakni bukan passionnya. Tak heran, penyair kondang Indonesia, Taufiq Ismail dalam salah satu tulisannya mengatakan orang Indonesia "luar biasa sedikit" membaca. Jika lambat disikapi, bukan tak mungkin kurangnya minat membaca ini bisa menjadi momok "tradisi" berulang. Tapi, sadar ataupun tidak, minat baca itu sebenarnya bisa ditingkatkan, salah satunya dengan memilih bahan bacaan yang baik.
Membaca: Menembus Batas
Saat ini perkembangan Teknologi bisa dibilang semakin canggih, semua informasi bisa diakses secara cepat tanpa batas dari perangkat elektronik apapun, ini berkat konvergensi teknologi yang membuat perangkat elektronik melebur menjadi sebesar genggaman tangan. Wajar saja kalau Telkom dengan sigap menyatakan bahwa saat ini dunia telah berada dalam genggaman kita (The World in Your Hand).
Tapi jangan gagal paham, Dunia dalam genggaman tentu tak ada artinya jika tidak mampu menggenggamnya dengan pengetahuan, teknologi yang canggih harusnya bisa dimanfaatkan dengan banyak membaca untuk menambah pengetahuan/informasi, jadi tak ada lagi alasan untuk mengelak. Saat ini, bagi saya membaca bukan lagi soal kebutuhan perlu atau tidaknya dilakukan, tapi lebih kepada upaya menjaga eksistensi (keberadaan), layaknya "cogito ergo sum" yang diutarakan Descartes, dimana setiap orang yang berpikir maka ia ada, begitu pula halnya dengan membaca.
Di era milineal, internet dan elektronik mempunyai peran penting dalam mempengaruhi eksistensi seseorang, bahkan eksistensi sosial juga ditentukan dari seberapa banyak kita tahu atau update tentang informasi kekinian. Sedikit saja ketinggalan informasi, resikonya bisa jadi "terpinggirkan"dari pergaulan atau komunitas.
Dulu, orang masih mengandalkan buku maupun media cetak sebagai jendela utama menembus dunia. Bahkan butuh waktu, kemauan hingga pengorbanan yang panjang untuk bisa dikatakan sebagai orang "kutu buku". Orang yang gemar membaca tentu lebih tahu, punya wawasan yang luas, pandai bersikap dan kaya kosakata, sehingga bisa dibilang orang yang gemar membaca bisa menembus batas, yakni bisa bergabung di komunitas mana saja atau di golongan usia berapapun, karena selalu 'nyambung' jika diajak komunikasi.
Saat ini untuk memperoleh gelar "Kutu Buku" sangat berbeda, namun bukan berarti saya membandingkan generasi dulu dengan sekarang. Menurut saya di era milineal ini cukup mudah meraihnya, karena banyak informasi dengan literasinya sudah diintegrasi (dikumpulkan) ke dalam satu "wadah", misalnya situs berita online kompas.com atau republika.com. Jadi sekarang tinggal passion dan kesadaran saja yang mampu memaksimalkan minat membaca dengan teknologi dan perangkat elektronik yang ada.
Untungnya, ada salah satu aplikasi yang bisa mendukung untuk mewujudkan itu semua, yakni Kurio. Aplikasi yang diprakarsai David Wayne Ika ini menjadikan sumber berita dari berbagai media, harian online, website serta blog favorit bisa ditampilkan secara bersamaan. Bagi yang orang gemar membaca tentu ingin bacaannya punya literatur yang terpercaya, selalu update dan sekaligus tak ada hoax bukan? Di Kurio, hal itu bisa terwujud. Ada beberapa hal alasan yang bisa diterima.
Pertama, dalam setiap artikel/konten yang ditayangkan pasti selalu memiliki alamat website sumber informasinya.