Lihat ke Halaman Asli

Rahasia Gusti

Diperbarui: 10 Maret 2017   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Sindotrijaya

Gimin melemparkan pandangannya ke tengah areal persawahan yang kerontang, menjelma lapangan gersang dengan garis-garis rekahan tanah yang terbelah-belah. Bahkan jarak rekahannya sudah cukup lebar, sehingga kaki bisa saja terjepit jika terperosok masuk ke dalamnya.

Kemarau ini sudah sedemikian parah. Sudah empat bulan lebih tak pernah turun hujan. Kekeringan bukan hanya melanda lahan pertanian, tapi juga penduduk di pemukiman sudah kesulitan mendapatkan air bersih. Sementara, pasokan dari kecamatan masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.

Bagi mereka yang mampu, tentu bisa membeli kepada para pengecer yang mulai menjamur untuk menutupi kekurangannya. Tapi bagi dirinya, dan juga penduduk kurang beruntung lainnya, harus rela mengonsumsi air keruh. Itu pun didapat dengan penuh perjuangan, berjalan menyusuri bukit terjal sejauh 1-2 kilometer.

Hmm... Gimin menghela napas, pandangannya dialihkan pada perbukitan dan pegunungan kapur yang menjulang di kejauhan. Begitu gagah, seolah membentengi Kecamatan Karangmojo, tempat ia tinggal sejak lahir, bahkan hingga kini setelah menikah dan menjadi Bapak dari seorang Bocah Kurus, yang sedang berlari-lari kecil di pematang sawah, bersama teman-temannya mengejar layangan putus.

“Sampai kapan penderitaan ini akan berlangsung?” Hatinya berbisik pilu. Ia teringat pada Sati, istrinya yang tengah mengandung anak kedua. Dengan kondisi seperti ini, ia khawatir, makanan yang masuk ke perut istrinya tidak mencukupi pertumbuhan Si Jabang Bayi. Belum lagi untuk persalinan nantinya yang tentu membutuhkan biaya tidak sedikit.

Sebagai buruh tani, yang hanya menggantungkan hidup pada sawah tadah hujan sang pemilik lahan, musim kemarau berarti juga sumber pendapatannya tertutup. Biasanya ia masih bisa menanam palawija, tapi dengan kondisi tanah yang kerontang dan terbelah, tanaman apa yang bisa tumbuh dengan baik?

“Apakah Gusti Allah tidak melasmaring wong cilikkoyokulo?” bisik hatinya lagi, lebih kepada protes. “Sudah sejak dulu kulo berjuang, mencari nafkah untuk kulawargo, tapi selalu saja ndak mencukupi? Duh Gusti...”

Hatinya menjerit. Mempertanyakan keadilan yang dirasa tak pernah berpihak. Ia hanya bisa pasrah menjalani garis hidup yang harus ditapaki. Bukan! Bukan tidak mau merubah nasib, tapi segala upaya yang dicoba selalu berakhir dengan kebuntuan, sekeras apapun ia mengusahakannya.

Kali ini, ia benar-benar ingin Tuhan datang memeluknya. Membuka jalan untuk keluar dari kesengsaraan yang menghimpit. Karena ia sudah tak sanggup lagi berpikir, mencari jalan sendiri.

“Paringi kulo dalan, Gusti...” desisnya pelan. Lantas, matanya mencari-cari sosok kecil yang masih berlarian untuk diajaknya pulang. Di ufuk Barat, mentari sudah hampir tenggelam.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline