Lihat ke Halaman Asli

Jalan Cinta

Diperbarui: 11 Januari 2017   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Ari Awalu Romadon (Fb: Ari Awalu R)

Jalan ini adalah jalan yang paling kusuka. Bukan karena jalan ini indah seperti Puncak. Bukan pula karena ramai seperti Malioboro. Bukan! Jalan ini hanya jalan kompleks biasa. Atau bisa dikatakan hanya sebuah gang, meski ukurannya lebih besar dari gang pada umumnya, dan bisa dilalui oleh sebuah mobil.

Jalan ini sangat berarti bagiku. Jantungku selalu berdebar kencang bila akan melewatinya. Hatiku berharap-harap, semoga bisa melihatmu. Ya! Jalan ini memang lebih indah karena kamu tinggal di situ. Jalan ini menjadi lebih hangat, karena kamu ada di situ!

Di jalan inilah pertama kali aku melihatmu. Kamu begitu menawan, hingga mataku sulit untuk berpaling. Kamu mampu menyedot seluruh perhatianku, hingga aku rela berdiri lama hanya untuk memandangimu. Padahal aku belum tahu siapa kamu, begitupun kamu. Karena kita memang belum saling mengenal.

Sebenarnya jalan ini tidak praktis untuk kulalui. Karena jika melewati jalan ini, berarti aku mengambil jalan memutar, dan artinya jarak yang harus kutempuh menjadi lebih jauh. Tapi tidaklah mengapa. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Aku ingat bagaimana kisah cinta seorang Qais pada Laila. Dia pun rela melewati jalan yang panjang dan terjal hanya untuk melihat pujaan hatinya. Lantas kenapa aku tidak?! Inilah dahsyatnya cinta. Cinta mampu melumpuhkan logika.

Dan aku tidak merasa keberatan, walau jarak tempuhku menjadi lebih jauh. Tidak. Bahkan aku pun tidak merasa rugi, meski harus kehilangan waktu lebih banyak. Aku justru akan merasa hampa, jika tidak melihatmu. Untuk itu, jangan tertawakan aku, jika aku bisa lima sampai sepuluh kali, bolak-balik melewati jalan ini dalam satu hari hanya untuk bisa melihatmu ---walaupun aku tak selalu beruntung bisa melihatmu setiap melewati jalan ini. Tapi anehnya, aku tidak pernah merasa bosan dan menyerah. Aku menyadari itu sebagai pengorbanan cinta. Kamu seperti matahari yang menarik planet-planet untuk mengorbit dan berputar mengelilinginya. Dan akulah planet itu. Planet tunggal yang mengorbit padamu.

Pernah pada suatu kali, kamu memergoki aku yang sedang memperhatikanmu dari jauh. Mungkin kamu merasakan gelombang elektromagnet yang aku kirimkan lewat tatapan mataku. Hingga kamu pun menoleh kepadaku. Aku sangat gugup, karena itulah saat pertama kali kita beradu pandang. Aku merasa jadi salah tingkah. Bahkan aku tidak tahu bagaimana rona wajahku? Yang jelas aku sangat malu. Apakah kamu sudah tahu, kalau selama ini aku selalu memperhatikanmu dengan diam-diam? Jika ya, apa yang harus aku lakukan sekarang?

Namun, tanpa kuduga, kamu malah melempar senyum padaku. Sungguh, senyuman yang manis sekali. Membuat jantungku tersentak, dan berdegup lebih kencang. Aku hanya diam terpaku, tak mampu membalas. Mungkin terhipnotis oleh pesonamu. Benarkah kamu tersenyum untukku? Pikiranku melayang, menembus awan-awan, merangkai bahagia dalam dada. Aku hampir tak percaya. Ini seperti mimpi. Mimpi yang menerbangkan sukmaku menembus batas sadarku. Hingga aku terlena, dan baru mendapatkan kesadaranku kembali, saat akhirnya kamu pergi dengan sepeda motormu. Kemanakah? Entah. Aku hanya menatap kepergianmu hingga benar-benar hilang dari mataku. Aku pun tak tahu apa yang kamu pikirkan saat itu? Mungkin aku terlihat seperti orang bego. Ah, jika teringat saat itu, aku sangat malu. 

Dan hari ini aku kembali melewati jalan ini. Ingin melihatmu, atau jika beruntung bisa berkenalan denganmu. Tapi sudah beberapa hari bolak-balik, aku tak pernah melihatmu lagi. Padahal aku selalu memperhatikan dengan seksama ke arah teras rumahmu, dimana aku biasa menemukanmu sedang duduk santai sambil membaca buku atau menulis. 

Kini kamu tak ada lagi disitu. Lalu kemanakah gerangan? Apakah kamu marah padaku? Merasa terganggu? Hingga akhirnya menghindar dariku? Aku hanya bertanya-tanya dalam hati, menebak-nebak berbagai kemungkinan, tanpa bisa membuat suatu simpulan. 

Benarkah kamu marah padaku? Jika ya, aku mohon, maafkanlah aku, dan kembalilah ke tempatmu, agar aku bisa melihatmu lagi. Sungguh, aku merasa sangat kehilanganmu! Kehilangan arah dan tujuan, seperti planet yang lepas dari pusat orbitnya!

"Hai..." sapa seseorang yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. Aku pun segera menoleh. Ya Tuhan! Aku ingin berteriak karena bahagia. Tapi aku tak bisa berkata-kata. Suaraku seperti tercekat, jantungku berdegup kencang, darahku mengalir cepat. Di dadaku bercampur segala perasaan. Kamu kah itu?!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline