Bulan yang tinggal separuh membuat malam itu terasa syahdu. Terlebih dengan sepoi angin berhembus pelan, cukup sukses menggenapi kesejukkannya. Rumah yang sejak tadi ramai karena kedatangan adik-adik sepupu yang tiba-tiba, kini berubah hening. Hanya suara musik dangdut mengalun sendu dari layar kaca, ditingkahi suara tang-ting-tong pemberitahuan pesan masuk melalu berbagai aplikasi sosial media di telepon seluler masing-masing. Kami, menjadi seperti autis yang asyik dengan dunianya. Terkadang malah senyum-senyum sendiri. Sementara si Umi, istri saya, dan Aka, anak saya, sudah terlelap sedari tadi.
“Maen kartu yu, ah!” Obi mengajak. Suaranya berhasil memutus konsentrasi yang lain. Mungkin sudah mulai bosan bermain gadgetdan ingin kembali ke dunia nyata.
“Hayu!”1) Ari menyahut, “Siap A, Ka?” lanjutnya bertanya pada saya dan juga pada Icep, yang sering dipanggil Kaka.
“Ok, siapa takut!” Saya menyambut tantangan.
“Siaaapp...!” Kaka menimpali.
Mereka adalah sepupu-sepupu dari pihak istri saya, tapi bagi saya tidak ada yang beda, semuanya juga adik-adik saya. Karena itulah mungkin kami menjadi begitu akrab. Oiya, mereka ke sini dalam rangka merayakan hari kebebasan, karena baru selesai menempuh ujian nasional.
“Tuh, kartunya di atas lemari TV, ambil aza!” Saya menunjuk tempat penyimpanan kartu, lalu beranjak untuk menyiapkan kertas dan ballpoint bakal mencatat skor nantinya.
Permainan kartu yang kami maksud adalah remi atau cekihan. Mungkin sudah banyak yang tahu, karena permainan ini cukup merakyat dan banyak disukai. Selain itu, karena memang permainan ini cukup seru dan asyik. Bukan hanya ada unsur kompetisi dan strategi, tapi juga hiburan. Apalagi dengan saling sepet-sepetan dan mengunci permainan lawan agar skor kita tidak dilampaui, membuat adrenalin sedikit terpacu. Harga diri, dong! Hehe.
Kami duduk melingkar. Kaka yang mengocok dan membagi kartu pertama kali, yang berarti bahwa permainan telah dimulai. Aneka umpatan dan celetukan asal bunyi mengalir deras dari mulut kami. Saling nyinyir, saling meledek tapi tidak lepas dari konteks bercanda. Ga boleh ada yang baper.
“Yeuh... Ente hayang as? Cokooottt...!”2)ledek Ari pada Kaka yang diketahui sedang menunggu kartu as agar menjadi seri yang lengkap. Tapi sayang, as yang Ari buang jaraknya sudah jauh dari as yang dibuang Obi lebih dulu. Jadi, Kaka tidak bisa mengambil kartu itu dari bawah. Kasiaann....! Untuk bisa mengambil kartu dari bawah, kami membatasi tidak lebih dari lima kartu.
“Ah, Manehmahlicik euy!Teu fungsi atuh uing boga as sadua-dua,”3) rutuk Kaka yang akhirnya terpaksa mengambil dari tumpukan kartu yang belum dibuka. Tak lama muncul kerutan di keningnya, mungkin sedang memikirkan strategi lain. “Ahh, sugan we meunang joker engke...”4) lanjutnya sambil mengecek ulang tumpukan kartu yang belum dibuka. “Loba keneh ieuh lah, kalem we kalem,”5) lanjutnya lagi jadi heboh sendiri.