Amat terbangun dengan cepat. Mimpinya menjadi Superman ia tinggalkan begitu saja. Pak Gatot, guru matematikanya lebih menyeramkan dari pada Darkseid yang sedang dihadapi. Ia memilih kabur dari pertarungan sengit yang sedang berlangsung, meski harus dengan olok-olok dan sebutan pecundang. Amat tidak peduli. Pikirannya hanya tertumpu pada tugas matematika yang belum dikerjakan, dan harus dikumpulkan pagi ini, pada jam pelajaran pertama, jam pelajaran Pak Gatot. Bagi Amat –dan mungkin juga bagi murid lainnya, tugas itu menjadi sangat penting, karena akan berlaku sebagai tiket masuk kelas dan syarat wajib untuk bisa ikut ulangan.
Artinya, jika tidak mengumpulkan, maka tidak akan diizinkan masuk ke kelas, yang secara otomatis tidak bisa ikut ulangan. Sekilas tampak kejam, namun aturan tersebut dibuat untuk melatih kedisiplinan murid-murid, dan yang pasti, sudah menjadi kesepakatan, dan tertuang dalam kontrak belajar yang ditandatangani Pak Gatot sebagai guru mata pelajaran dan juga murid-murid di kelasnya. Jadi, siapapun tidak bisa protes. Aturan harus tetap ditegakkan dan kesepakatan harus tetap dilaksanakan.
Untuk hal ini, Pak Gatot dikenal sangat tegas dan konsisten, beliau tidak akan menerima alasan apapun. Bagi beliau, tidak mengumpulkan berarti tidak mengerjakan, dan konsekuensinya sudah sangat jelas. Minggu kemarin, Sandi harus berdiri di lapangan sambil menghormat bendera selama jam pelajaran, karena ‘lupa’ membawa buku tugasnya, padahal sudah mengerjakan, katanya. Tentu, Amat tidak mau bernasib seperti Sandi. Membayangkannya pun sudah alergi. Apalagi ada ulangan hari ini. Bisa rugi banyak. Tidak ikut ulangan, sama dengan membiarkan ada angka merah di raport.
Dengan segenap kemampuan yang dimiliki, Amat segera melahap soal-soal yang tertulis di buku tugasnya. Angka-angka yang berderet panjang, ia tekuri satu per satu, guna dicari jalan penyelesaiannya. Sekilas wajahnya tampak serius, kening berkerut, mata melotot tajam tak berkedip, mulutnya komat-kamit, berbicara sendiri, tangannya sibuk menulis atau menghapus, lalu mencorat-coret di kertas lain, mengotret, menemukan angka yang cocok untuk jawabannya. Begitu seterusnya, berulang-ulang, dan terkadang ia tersenyum sendiri penuh kepuasan, jika menemukan jawaban yang dicarinya.
Namun, tak jarang juga wajahnya memancarkan kegelisahan akut, hatinya resah, berdebar, khawatir tidak bisa menyelesaikan semua tugasnya, jika mengingat tak lagi memiliki waktu banyak dan masih harus berbagi dengan rutinitas pagi lainnya. Amat menyesal, kenapa baru sekarang ia menyentuh buku tugasnya, padahal dari minggu lalu sudah berniat mengerjakan, namun ‘kesibukan’ yang harus dijalani tidak menyisakan sedikitpun waktu dan energi untuk membuka buku.
Setiap pulang sekolah, harus turun ke sawah membantu bapak, mengarit padi yang sudah menguning, ikut gadeng di sawah orang lain, mumpung sedang musim panen lumayan bisa dapat upah beberapa karung. Terkadang, baru bisa pulang dari sawah ketika gelap mulai merangkak, membungkus malam dengan gulita. Dan, begitu sampai kembali di rumah, harus membantu ibu, mengambil air dari sumur umum, karena di rumahnya belum memiliki sumber air sendiri. Barulah ia akan mandi, makan, dan kalau masih belum terlalu lelah, ikut mengaji ke surau Wak Ilyas, bersama teman-temannya. Sepulang mengaji, matanya sudah tak bisa lagi dibuka, ia pun akan terlelap, menyusuri mimpi-mimpinya. Tugas pun terabaikan.
Amat masih saja berkutat dengan angka-angka di buku tugasnya. Kali ini soal yang diberikan dua kali lipat banyaknya dari biasa. Padahal untuk satu soal pun memerlukan jalan penyelesaian yang panjang dan rumit. Tapi Amat tidak punya pilihan, apalagi tawar-menawar, mau tidak mau, soal-soal itu harus diselesaikan, terlepas jawabannya benar atau tidak, yang penting sudah dikerjakan, dan bisa lolos dari hukuman yang sudah disiapkan Pak Gatot, terlebih bisa ikut ulangan. Namun, untuk sekedar menyelesaikan pun, tidak semudah yang dibayangkan. Baginya, mendingan ikut ngarit padi di sawah tetangga saja bersama bapak, tidak perlu mengerutkan kening sampai keriting begini.
“Amaaat... air di bak udah kosong tuh... ayo ambil air!” teriak Emak dari dapur membuyarkan pikirannya. Amat tersentak, lalu melirik jam butut yang menempel di dinding. Dinding berbahan kayu dan sudah hampir lapuk, dimakan usia dan juga rayap. Seingatnya, sejak ia dilahirkan, belum pernah satu kalipun rumahnya direnovasi. Padahal konon, rumah itu warisan dari nenek, emaknya emak yang memang asli kampung itu. Dan katanya, menurut cerita nenek sewaktu masih hidup, rumah itu dibangun sebelum emaknya dilahirkan, artinya umur rumah itu lebih tua dari pada umur emaknya. Pantas saja, kalau sudah banyak yang keropos disana-sini.
Astaga, setengah tujuh kurang sepuluh, dengusnya kaget, melihat angka yang ditunjuk jarum jam. Ia lalu melihat tugasnya yang belum selesai dengan pandangan nanar. Mungkinkah menyelesaikan semuanya dalam waktu sesingkat ini? Belum ambil air untuk isi bak dan keperluan dapur, belum mandi, beres-beres, sarapan, dan untuk jalan kaki ke sekolah, yang jaraknya tak kurang dari tiga kilometer dari rumah. Ditambah lagi kalau dua adiknya yang masih kecil-kecil rewel, biasanya Amat akan disuruh menjaganya, sementara emak memasak di dapur. Untunglah, kali ini adiknya masih belum pada bangun.
“Amaaatt, lagi apa sih Kamu?! Cepetan, nih, air nya udah abis, buat mandi adik-adikmu nanti...!” teriak emak lagi, suaranya lebih nyaring dari sebelumnya.
“Iya, Mak,” dengan terpaksa Amat menyudahi mengerjakan tugasnya, pasrah, semoga saja Pak Gatot sedang berbahagia, dapat undian, ulang tahun atau apalah, sehingga akan sedikit bertoleransi. Tidak terlalu ketat dalam memeriksa tugasnya, Amat berharap dalam hati. Meski ia yakin, harapannya tak akan terwujud, karena Pak Gatot akan selalu tegas, disiplin dan konsisten, dalam kondisi apapun.