Pernikahan Dini Culture serta Dampaknya
Hery Ernawati, S.Kep., Ns., M.Kep
Jovita Febrine Widodo
222121117 (HKI 4C)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Abstract:
Artikel ini mengeksplorasi fenomena pernikahan dini dalam konteks budaya serta implikasinya. Pernikahan dini tidak hanya menjadi praktik sosial, tetapi juga merefleksikan nilai-nilai budaya yang melandasi masyarakat. Pernikahan dini merupakan fenomena yang tersebar luas di berbagai budaya, dengan dampak yang kompleks terhadap individu dan masyarakat. Melalui pendekatan multidimensional, artikel ini menginvestigasi faktor-faktor budaya yang memengaruhi kecenderungan pernikahan dini, termasuk nilai-nilai tradisional, tekanan sosial, dan norma keluarga. Selain itu, dampak negatif dari pernikahan dini juga diperiksa, seperti risiko kesehatan yang meningkat, pembatasan akses pendidikan, dan masalah ekonomi. Dengan memahami hubungan kompleks antara budaya dan pernikahan dini. Dengan memahami hubungan kompleks antara budaya dan pernikahan dini, artikel ini menyoroti pentingnya intervensi yang holistik dan berbasis budaya untuk mengatasi masalah ini. Artikel ini juga mendalam pada dampak pernikahan dini terhadap individu dan masyarakat. Fokusnya melibatkan aspek-aspek seperti kesehatan, pendidikan, dan perkembangan sosial. Dalam konteks global, artikel ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa pernikahan dini tidak hanya menjadi masalah lokal, tetapi juga memiliki dampak luas pada pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan global. Dengan menggali aspek-aspek budaya dan dampaknya, artikel ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang kompleksitas pernikahan dini serta menggugah kesadaran terhadap perlunya langkah-langkah preventif dan pemulihan untuk mempromosikan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.
Keywords: pernikahan dini1; budaya2; dampak3; intervensi4 .
Introduction
Pernikahan dini atau pernikahan anak merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang terlalu muda, yaitu usia kurang dari 20 tahun untuk perempuan dan usia kurang dari 25 tahun untuk pria. Berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa usia menikah ideal untuk perempuan adalah 20-35 tahun dan 25-40 tahun untuk pria. Penyebab dari pernikahan dini di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain pendidikan rendah, kebutuhan ekonomi, kultur nikah muda, pernikahan yang diatur, seks bebas pada remaja, pemahaman agama.
Rendahnya tingkat pendidikan mereka akan mempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan mengerti hakekat dan tujuan pernikahan serta orang tua yang memiliki ketakutan bahwa anaknya akan menjadi perawan tua. Pernikahan dini bisa terjadi karena keinginan mereka untuk segera merealisasikan ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan. Faktor ekonomi juga menjadi faktor pada keluarga miskin dengan alasan dapat mengurangi beban tanggungan dari orang tua. Pemahaman agama menurut sebagian masyarakat menganggap bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis telah terjadi pelanggaran agama dan merupakan suatu perzinaan, oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan anaknya. Pernikahan dini yang tinggi ada korelasinya dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di kalangan remaja. KTD berhubungan dengan pernikahan dini lantaran mayoritas korban KTD terpaksa memilih pernikahan sebagai solusinya.
Idealnya usia pernikahan untuk perempuan adalah minimal 20 tahun. Secara psikologis. sudah stabil dalam menyikapi banyak hal, dan ini berpengaruh dalam perkawinana. Wanita yang masih berumur kurang dari 20 tahun cenderung belum siap karena kebanyakan diantara mereka lebih memikirkan bagaimana mendapatkan pendidikan yang baik dan bersenang-senang. Laki- laki minimal 25 tahun, karena laki-laki pada usia tersebut kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, sehingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis, emosional, ekonomi dan sosial. Hasil survey di beberapa negara menunjukkan bahwa pernikahan muda menjadi kecenderungan di berbagai negara berkembang.
Pernikahan dini berdampak buruk pada kesehatan, baik pada ibu dari sejak hamil sampai melahirkan maupun bayi karena organ reproduksi yang belum sempurna. Belum matangnya organ reproduksi menyebabkan wanita yang menikah usia muda beresiko terhadap berbagai penyakit seperti kanker servik, kanker payudara, perdarahan, keguguran, mudah terjadi infeksi saat hamil maupun saat hamil, anemia saat hamil, resiko terkena Pre Eklampsia, dan persalinan yang lama dan sulit. Sedangkan dampak pernikahan dini pada bayi berupa kemungkinan lahir belum cukup umur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), cacat bawaan hingga kematian bayi. Usia pernikahan menjadi perhatian pemerintah karena terkait dengan dinamika penduduk terutama banyaknya kelahiran yang diakibatkan oleh panjang pendeknya pernikahan. BKKBN mempunyai program yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk yaitu program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Implikasi dari tujuan PUP adalah meningkatkan usia perkawinan pertama yang lebih dewasa sehingga berdampak pada penurunan Total Fertility Rate (TFR) atau rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita sampai dengan akhir masa reproduksinya. Upaya konkrit lain yaitu meningkatkan pendidikan dengan kebijakan wajib belajar 12 tahun karena tingkat pernikahan dini bisa ditekan lantaran anak fokus menyelesaikan studinya di jenjang SMA/SMK, serta mensosialisasikan kesehatan reproduksi pada remaja, melalui pembelajaran kesehatan reproduksi remaja dapat mengerti akan hak-hak reproduksinya.
Result and Discussion
Pernikahan Dini
Pernikahan dini adalah sebuah perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal persiapan fisik, persiapan mental, juga persiapan materi, maka pernikahan dini bisa dikatakan sebagai pernikahan yang terburu-buru, sebab segalanya belum dipersiapkan secara matang. Pernikahan dini atau pernikahan remaja adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan pengantin dalam interval umur remaja, yakni 11-21 tahun. Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 2, untuk melangsungkan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 19 tahun harus mendapat ijin dari orangtuanya. Usia menikah ideal untuk perempuan adalah 20-35 tahun dan 25-40 tahun untuk pria. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi remaja melakukan pernikahan dini;
1.Pendidikan
Pernikahan dini berkaitan dengan berkurangnya taraf hidup anak dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal untuk mengembangkan dirinya dikarenakan bertambahnya tanggung jawab didalam rumah tangga terutama setelah mengandung dan memiliki anak. Perempuan muda yang melakukan pernikahan dini sering dipaksa keluar dari sekolah tanpa pendidikan atau putus sekolah. Penyebab pernikahan dini karena pendidikan rendah dan menyebabkan anak perempuan menjadi putus sekolah dan terisolasi hilangnya kesempatan meraih pendidikan formal menghambat perkembangan kualitas perempuan yang mendorong ketidaksetaraan dan terhambatnya proses pemberdayaan perempuan. Peran orang tua dalam pengambilan keputusan pernikahan dini dipengaruhi oleh pendidikan. Masalah utama yang dihadapi seluruh provinsi dalam mengatasi pernikahan dini yakni tingkat pendidikan yang rendah. Pendidikan pada anak-anak mempunyai peran yang sangat penting. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja, saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri. Hal yang sama jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur, kekosongan waktu tanppa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang kurang produktif. Hal ini akan mendorong anak untuk melakukan pernikahan dini. Pendidikan orang tua yang rendah juga memiliki peranan pada fenomena pernikahan dini. Peran orang tua dalam pengambilan keputusan pernikahan dini karena faktor pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan mempunyai hubungan positif dengan median umur perkawinan pertama. Artinya makin tinggi tingkat pendidikan mempengaruhi median umur perkawinan pertama. Pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam memahami dan mengerti hakekat dan tujuan pernikahan. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan pemahaman secara matang kepada individu untuk memilih atau memutuskan suatu hal. Individu tersebut tidak menginginkan jika hal yang buruk yang tidak diinginkan menimpa dirinya akibat dari keputusan yang telah diambil olehnya. Suatu pernikahan secara tidak langsung telah membelenggu kebebasan seseorang, karena di dalam pernikahan terdapat tanggung jawab untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangganya. Hal itu menjadi pertimbangan yang signifikan untuk memutuskan menikah. Pendidikan merupakan salah satu variabel yang dijadikan pertimbangan yang mengaburkan keputusan menikah, terutama menikah dini. Orang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pola pikir lebih luas dan bijaksana dalam mengambil suatu keputusan dan untuk menentukan keputusan melalui pemikiran yang matang dan jeli, apalagi dalam menentukan suatu pemikiran dimana pernikahan dini tersebut adalah suatu pondasibijaksana dari kehidupan masyarakat. Namun secara logika bahwa pernikahan yang dilakukan oleh orang berilmu atau berpendidikan akan lebih bijaksana dalam bertingkah laku dan berfikir, sehingga tujuan dari pernikahan akan lebih mudah tercapai. Beberapa temuan penting BKKBN terhadap pendidikan;
a.Peningkatan kesejahteraan akibat pertumbuhan ekonomi tidak diikuti dengan peningkatan kualitas hidup penduduk dibidang pendidikan.
b.Minat masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan rendah.
c.Banyak pelaku pernikahan dini yang keluar sekolah justru masih di usia SMP.
2.Faktor Ekonomi
Adanya perkawinan dini sebagian besar disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga yang rendah, orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda menganggap bahwa dengan menikahkan anaknya maka beban ekonomi keluarga akan berkurang. Hal ini disebabkan karena jika anak sudah menikah, maka akan menjadi tanggung jawab suaminya. Bahkan para orang tua berharap jika anaknya sudah menikah dapat membantu kehidupan orang tuanya. Alasan orang tua menikahkan anaknya pada usia muda dilihat dari faktor ekonomi adalah sebagai berikut: 1) untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Menyelenggarakan perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan diterima sumbangan dari handai taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya kebutuhan kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya; 2) untuk menjamin kelestarian ataupu perluasan usaha orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak anak kedua belah pihak itu dapat menjamin kelestarian serta perkembangan usaha kedua belah pihak orang tuanya.
3.Faktor Hamil Sebelum Nikah
Pernikahan dini yang tinggi ada korelasinya dengan kehamilan yang tidak di inginkan (KTD) dikalangan remaja. KTD berhubungan dengan pernikahan dini lantaran mayoritas korban KTD terpaksa memilih pernikahan sebagai solusinya. Akibat dari pergaulan bebas banyak terjadi kehamilan anak perempuan di luar nikah, karena jika kondisi anak perempuan itu dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anaka-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, meskipun pada dasarnya orang tua anak gadis tersebut tidak setuju dengan calon menantunya, tetapi karena kondisi hamil, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut.
4.Pemahaman Agama
Terdapat sebagian dari masyarakat yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak anak tersebut. Terdapat kasus dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan suatu "perzinahan", oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat majelis hakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 20 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu sampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tetapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanakan.
5.Adat istiadat/Budaya
Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan, dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan Undang-Undang.
Faktor yang mempengaruhi remaja putri melakukan pernikahan dini didapatkan hasil faktor terbanyak adalah faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor pemahaman agama, faktor hamil sebelum menikah, dan faktor adat/budaya. Peran orang tua dalam pengambilan keputusan pernikahan dini dipengaruhi oleh pendidikan. Masalah utama yang dihadapi seluruh provinsi dalam mengatasi pernikahan dini yakni tingkat pendidikan yang rendah. Penyebab dari pernikahan dini karena pendidikan rendah serta minat masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan sangat rendah sehingga menyebabkan anak perempuan menjadi terisolasi dan putus sekolah, hilangnya kesempatan meraih pendidikan formal menghambat perkembangan kualitas perempuan yang mendorong ketidaksetaraan dan terhambatnya proses pemberdayaan perempuan. Tingkat pendidikan mempunyai hubungan positif dengan mendian umur perkawinan pertama. Artinya makin tinggi tingkat pendidikan mempengaruhi median umur perkawinan pertama. Pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam memahami dan mengerti hakekat dan tujuan pernikahan. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan pemahaman secara matang kepada individu untuk memilih atau memutuskan suatu hal. Individu tersebut tidak menginginkan jika hal yang buruk yang tidak diinginkan menimpa dirinya akibat dari keputusan yang telah diambil olehnya. Suatu pernikahan secara tidak langsung telah membelenggu kebebasan seseorang, karena didalam pernikahan terdapat tanggung jawab untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangganya. Hal itu menjadi pertimbangan yang signifikan untuk memutuskan menikah.
Dampak dari pernikahan dini berkaitan dengan berkurangnya taraf hidup anak dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal untuk mengembangkan dirinya dikarenakan bertambahnya tanggung jawab didalam rumah tangga terutama setelah mengandung dan memiliki anak. Perempuan muda yang melakukan pernikahan dini sering dipaksa keluar dari sekolah tanpa pendidikan atau putus sekolah. Dampak pernikahan dini akan menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, terhadapanak-anak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing.
1.Dampak Psikologis
Secara umum, remaja berarti tumbuh menjadi dewasa adalah remaja (ad (adolescence), menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), adalah periode usia antara 10 sampai 19 tahun, sedangkan perserikatan bangsa - bangsa (PBB), menyebut kaum muda (youth) untuk usia antara 15 sampai 24 tahun. Sementara itu, menutut The Health Resources and Services Administrations Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11-12 tahun dan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja menengah (15-17 tahun), dan remaja akhir (18- 21 tahun), Definisi ini kemudian disatukan dalam terminology kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun. Remaja yang sudah di anggap cukup umur akan memiliki keinginan untuk segera menikah dengan tujuan ingin membina hubungan yang serius dengan lawan jenisnya, selain itu untuk meneruskan keturunan. Namun tidak menutup kemungkinan remaja yang sudah dianggap cukup umur akan memiliki keinginan untuk segera menikah. Remaja dewasa memiliki kematangan pola pikir yang berbeda dan lebih mementingkan masa depan daripada memikirkan kesenangan belaka.
Dalam undang-undang perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun begitu juga pada bab ii pasal 6 ayat 2 disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (UU Perkawinan, 2009:8-10) Dilihat dari kebijakan pemerintah yang sudah menetapkan usia pernikahan yaitu pada laki-laki 19 tahun, sedangkan pada perempuan 16 tahun, maka seorang yang akan melakukan pernikahan batas umur kurang dari ketentuan maka harus melalui proses persidangan terlebih dahulu.
Perkawinan pada umumnya merupakan suatu masa peralihan dalam kehidupan seseorang dan oleh karenanya mengandung stres. Untuk itu menghadapi perkawinan diperlukan kesiapan mental dari suami maupun isteri, yaitu bahwa dia mulai beralih dari masa hidup sendiri ke masa hidup bersama dan berkeluarga. Kesiapan dan kematangan mental ini biasanya belum dicapai pada umur di bawah 20 tahun. Pengalaman hidup mereka yang berumur di bawah 20 tahun biasanya belum mantap. Apabila wanita pada masa perkawinan usia muda hamil dan secara mental belum mantap, maka janin yang dikandungnya akan menjadi anak yang tidak dikehendaki ini berakibat jauh terhadap perkembangan anak sejak dalam kandungan. Bila anak lahir, ibu biasanya kurang memberikan perhatian dan kasih sayang sehingga anak sering dianggap beban. Dampak psikologis juga berpengaruh pada kehidupan sehari-hari rasa cemas yang selalu menghampiri akan kegagalan dalam rumah tangga, kecemasan menghadapi kehamilan dan proses persalinan. Pernikahan dini sangat beresiko bagi kesehatan khususnya bagi wanita. Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. Desakan ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi remaja untuk menikah di usia dini, karna dengan sosial ekonomi yang rendah maka banyak orang tua yang berpendapat bahwa dengan menikahkan anaknya dengan orang yang lebih mampu maka mereka merasa beban ekonomi dalam keluarganya berkurang. Apalagi apabila orang tua sudah mengetahui bahwa anaknya sudah mulai mengenal lawan jenis, maka orang tua akan segera menikahkanya.
2.Dampak Biologis
Semua organ reproduksi wanita tumbuh selama puberitas. Namun tingkat kecepatan antara organ satu dan lainnya berbeda. Berat uterus pada anak usia 22 atau 12 tahun kira-kira 5,3 gram, pada usia 16 tahun rata-rata beratnya 43 gram. Sebagai tanda kematangan organ reproduksi pada perempuan adalah datangnya haid. Ini adalah permulaan dari serangkain pengeluaran darah, lendir dan jaringan sel yang hancur dari uterus secara berkala, yang akan terjadi kira-kira 28 hari. Hal ini berlangsung terus sampai menjelang masa menopause. Menopause bisa terjadi pada usia sekitar lima puluhan. Berdasarkan fakta di atas bahwa pernikahan dini sangat beresiko bagi kesehatan. karna fungsi reproduksinya belum matang, maka di butuhkan kematangan organ-organ reproduksi untuk mempersiapkan menghadapi kehamilan, dan persalinan agar tidak terjadi komplikasi pada ibu dan anak yang akan dilahirkannya. Semakin muda perempuan perempuan memiliki anak pertama, semakin rentan terkena kanker serviks. Selain berdampak pada anak yang akan dilahirkanya remaja yang menikah di usia muda beresiko tinggi terkena kanker serviks. Selain beresiko kanker serviks beresiko pula pada penyakit menular seksual lainnya. Dampak kesehatan terutama terjadi pada pasangan wanita saat mengalami kehamilan dan persalinan. Kehamilan mempunyai dampak negatif terhadap kesejahteraan. seorang remaja sebenarnya ia belum siap mental untuk hamil, namun karna keadaan ia terpaksa menerima kehamilan dengan resiko. Pernikahan dini memiliki dampak buruk bagi kesehatan ibu maupun anak yang akan dilahirkannya, oleh sebab itu di perlukan usia yang matang untuk melakukan pernikahan. Matang dalam hal kesehatan, pemikiran dan umur.
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur. Faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini salah satunya adalah tingkat pendidikan, pendidikan yang rendah makin mendorong cepatnya pernikahan usia muda. Secara jenjang pendidikan formal, karakteristik pendidikan responden tersebut tergolong pendidikan rendah. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang membagi pendidikan dalam empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi, maka tingkat pendidikan SMP tergolong jenjang pendidikan dasar. Menikah dini usia di bawah 16 tahun, maka hal ini juga disebabkan oleh berbagai faktor. Banyak orang yang melakukan pernikahan dini sudah tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, terlebih responden umumnya sudah bekerja sehingga terkesan sudah mandiri dan mampu melaksanakan pernikahan meskipun usianya masih relatif muda, apalagi tinggal di daerah pedesaan maka secara budaya juga mendorong untuk segera menikahan anaknya karena orang tua takut anaknya di nilai menjadi perawan tua. Kondisi ini akan mendorong terjadinya pernikahan dini. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin mendorong cepatnya perkawinan usia muda atau pernikahan dini. Oleh sebab itu kita sebagai tenaga kesehatan bertugas untuk memberikan penyuluhan kepada para remaja, orang tua dan masyarakat tentang resiko pernikahan dini agar orang tua tidak menikahkan anaknya di usia dini.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap cepatnya pernikahan di usia dini adalah faktor orang tua, orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera menikahkan anaknya. Dalam masyarakat desa pada umumnya ketika anak perempuan sudah tidak sekolah lagi maka pandangan orang tua anak tersebut harus segera dinikahkan. Berdasarkan dari hasil wawancara yang telah di berikan peneliti kepada responden dapat di ambil kesimpulan bahwa sebagian besar faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini adalah dari faktor orang tua. Untuk mengurangi kejadian pernikahan dini ini maka perlu memberikan penyuluhan kepada para orang tua dan masyarakat sekitar tentang resiko yang terjadi pada pernikahan dini. Pernikahan dini yang disebabkan budaya seks bebas yang semakin banyak, begitu juga di dukung dengan teknologi yang semakin maju, dengan adanya perkembangan teknologi memudahkan akses dalam mencari berbagai informasi yang dapat di akses dengan mudah. Jika informasi yang dicari para remaja itu dapat menjerumuskan ke arah yang baik dan bertujuan untuk mencari pengetahuan maka hal tersebut dapat memperoleh wawasan yang bermanfaat untuk pengetahuannya. Sedangkan jika informasi yang dicari berupa hal-hal yang tidak baik, seperti membuka situs video pornografi itu akan dapat menjerumuskan remaja dalam pergaulan bebas, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya pernikahan dini dikarenakan hamil di luar nikah.
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
3.Dampak Sosial
Faktor lain Penyebab Pernikahan Dini adalah faktor sosial budaya (Beberapa daerah Indonesia masih menerapkan praktik kawin muda, karena mereka menganggap anak perempuan yang terlambat menikah merupakan aib bagi keluarga). Sosial budaya sangat ber pengaruh pada kasus pernikahan usia dini, lebih lanjut di jelaskan bahwa anak perempuan yang terlambat menikah merupakan aib bagi keluarga. Adat lingkungan sekitar juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan pernikahan dini. Jika lingkungan sekitar mayoritas menikah di usia muda dan mereka menganggap pernikahan dini adalah tradisi turun temurun, maka hal itu akan mendorong seseorang untuk menikah diusia muda. Banyaknya pernikahan usia muda berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian, Ego remaja yang masih tinggi, Banyaknya kasus perceraian merupakan dampak dari mudanya usia pasangan bercerai ketika memutuskan untuk menikah, perselingkuhan, ketidakcocokan hubungan dengan orang tua dan mertua, Psikologis yang belum matang, sehingga cenderung labil dan emosional, Kurang mampu untuk bersosialisasi dan adaptasi. Masa remaja masih terbilang masa penyesuaian, perkembangan masa remaja masih labil, dan remaja lebih mengedepankan egonya masing-masing, hal ini menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, dan yang lebih parah bisa sampai pada perceraian.
Ada banyak dampak dan resiko dari pernikahan dini. Ada yang berdampak dan resiko bagi kesehatan, ada pula yang berdampak dan resiko bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja. Pernikahan dini memiliki dampak psikologis, biologis, sosial, bagi remaja yang menikah dini, untuk menghindari semua resiko yang tidak di inginkan sebaiknya dengan memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi remaja.
Conclusion
Buku ini menunjukkan bahwa pernikahan dini merupakan konteks yang kompleks, yang terdiri dari berbagai faktor, seperti kultura, religi, dan kebijakan. Kultura adalah faktor yang mempengaruhi pernikahan dini, baik dari segi kepribadian maupun keluarga. Buku menunjukkan bahwa kultura mempengaruhi pilihan pasangan, peranan pasangan, dan tingkat pengembangan hubungan pasangan. Dampak sosial dari pernikahan dini juga menarik perhatian, termasuk dampak terhadap kesejahteraan, kesehatan, dan keseimbangan hidup.
Dampak psikologis dari pernikahan dini juga merupakan fokus utama buku. Dampak ini terdiri dari efek positif, seperti peningkatan keseimbangan hidup, peningkatan kemampuan sosial, dan peningkatan kesejahteraan. Namun, juga ada dampak negatif, seperti peningkatan stress, peningkatan tingkat risiko kecelakaan, dan peningkatan tingkat risiko penyakit. Pernikahan dini merupakan konteks yang kompleks, yang memerlukan perhatian yang lebih baik dari kalangan yang berwibawa, seperti keluarga, kawanan, dan instansi pemerintah. Keseimbangan hidup dan kesejahteraan pasangan dan keluarga juga harus dipertimbangkan dalam membentuk kebijakan yang efektif.
Buku ini menjadi panduan yang berguna untuk para pengembang politik dan program yang berkaitan dengan pernikahan dini. Dengan informasi yang diberikan, semakin mudah untuk mengembangkan program yang efektif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Bibliography
Aida Ratna Wijiyanti, S.Keb., Bd., M,Keb., Hery Ernawati, S.Kep., Ns., M.Kep dkk. Pernikahan Dini Culture Serta Dampaknya. Banyumas: Amerta Media, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H