Salah satu syarat utama dalam berkendara adalah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dikeluarkan oleh kepolisian daerah setempat. Apabila ketahuan tidak memilikinya saat berkendara maka dapat dipastikan masyarakat harus membayar denda dengan jumlah yang telah ditentukan oleh polisi lalu lintas. SIM, STNK, BPKB, dll adalah syarat administrasi yang memiliki fungsi berbeda namun sama-sama penting, sehingga pengendara diwajibkan untuk memiliki syarat administrasinya terlebih dahulu.
Dalam pembuatan SIM, masyarakat diwajibkan untuk mengikuti sejumlah tahapan tes yakni tes tertulis dan tes praktek. Namun, ternyata tidak sedikit yang mengaku bahwa tes pembuatan SIM ini cukup sulit terkhusus tes praktek. Tidak jarang masyarakat beberapa kali gagal sehingga harus melakukan pengulangan tes dan bolak-balik ke kepolisian. Mendengar kesulitan dalam tes ini, rupanya ada oknum-oknum polisi yang memanfaatkan keadaan dan menjadi calo dalam pembuatan SIM. Fenomena ini dilakukan dengan masyarakat akan memberikan sejumlah uang yang cukup banyak dengan kisaran Rp500.000,- hingga Rp1.000.000,- kepada oknum polisi agar melewati tes-tes yang ada dimana uang tersebut akan masuk ke kantong pribadi. Dengan bahasa lain, ini merupakan tindak penyuapan dan polisi sebagai sosok yang seharusnya memiliki integritas serta dapat dipercayai publik ternyata melanggar etik dimulai dari hal-hal yang kecil.
Budaya penyuapan dan korupsi ada di masyarakat kita dan diwajarkan, padahal tanpa kita sadari fenomena “tembak SIM” adalah salah satu contoh dari penyuapan dan korupsi. Masyarakat sering kali mengutuki pejabat pejabat yang korupsi, padahal mereka sendiripun melakukan korupsi.. Fenomena “tembak SIM” bukan hal yang asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia dan bahkan telah menjadi suatu kewajaran dengan dalil tes yang ada terlalu rumit.
Kasus polisi menerima uang hasil "tembak SIM" di Indonesia mencerminkan praktik korupsi yang telah meresap dalam sistem pelayanan publik, khususnya dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM). Istilah "tembak SIM" merujuk pada tindakan memberikan uang kepada oknum tertentu untuk mempermudah proses pembuatan SIM, tanpa mengikuti prosedur yang sah. Kasus penyuapan yang melibatkan oknum polisi seringkali menggambarkan sisi gelap dari sistem penegakan hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
Praktik tembak SIM adalah bentuk dari penyuapan yang jelas melanggar hukum. Istilah Suap diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi). Suap dalam undang-undang ini diartikan sebagai pemberian atau janji yang diberikan kepada pejabat publik agar melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugasnya, atau sebaliknya, untuk tidak menjalankan kewajibannya.
Praktik tembak SIM juga melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (KEPP). Dimana kode etik ini mengatur perihal perilaku dalam menjalankan tugasnya yang harus dipatuhi oleh setiap anggota. Pasal 5 KEPP mengatur bahwa polisi wajib menjaga integritasnya dan menghindari tindakan yang dapat merusak citra serta kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Menerima suap dari masyarakat merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip integritas dan kepercayaan publik tersebut.
Praktik penyuapan yang melibatkan oknum polisi dalam kasus tembak SIM juga memberikan dampak buruk terhadap integritas dan efektivitas sistem penegakan hukum secara keseluruhan. Ketika oknum polisi terlibat dalam penyuapan, hal ini membuka peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan dan dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap kepolisian serta sistem peradilan kita. Praktik semacam ini dapat merusak legitimasi hukum, karena masyarakat mungkin merasa bahwa hukum bisa dipengaruhi oleh uang, bukan diterapkan berdasarkan prinsip keadilan yang berintegritas.
Apabila fenomena ini tidak segera ditangani, maka akan ada beberapa akibat, yaitu :
1. Citra Hukum yang Tercoreng
Penyuapan berupa Tembak SIM tentu saja melanggar prinsip hukum dimana setiap individu diperlakukan sama di hadapan hukum. Memang apabila kita berbicara mengenai materi maka itu adalah hak setiap individu. Namun akibat dari ketidakterjaganya integritas kepolisian dalam penyuapan ini maka akan ada proses yang berbeda antara individu yang “menembak SIM” dengan yang berproses sebagaimana mestinya. Ini dapat membuat masyarakat berpikir bahwa buat apa melewati proses yang susah jika ada proses yang mudah yaitu jalur uang. Masyarakat juga akan berpikir bahwa hukum kita dapat dibeli dengan uang.
2. Menyebarnya Praktik Korupsi dan Suap di Institusi Kepolisian