Lihat ke Halaman Asli

Ayahku Pahlawan

Diperbarui: 18 November 2024   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan deras mengguyur kota, membasahi tubuh ringkih ayah yang sedang mengais sampah di antara tumpukan barang rongsokan. Tetesan air hujan bercampur dengan keringat di wajahnya yang keriput, tetapi ayah tak bergeming. Ia terus mencari botol-botol plastik dan kardus bekas yang masih bisa dijual, seolah tak peduli dengan dingin yang menusuk tulang.

"Masih kurang... masih kurang..." gumamnya lirih, matanya melirik mencari barang-barang yang masih bisa dijual. Namun, pandangannya mulai kabur, kepalanya terasa berputar. Badannya menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena rasa lelah yang teramat sangat.

Di rumah, aku menunggu dengan hati cemas. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi ayah belum juga pulang. Aku tahu, selain mengajar di sekolah, ayahku juga terpaksa memulung untuk menambah penghasilan. Gaji sebagai guru honorer tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Raut wajahku semakin khawatir melihat hujan yang tak kunjung reda.

"Kenapa nasib guru seperti ayah begitu miris?" batin, amarah, dan kesedihan bercampur aduk dalam hatiku.

Aku teringat berita-berita di televisi tentang korupsi yang merajalela, tentang pejabat-pejabat yang hidup bergelimang harta, sementara guru-guru seperti ayahku harus berjuang mati-matian demi sesuap nasi.

"Mereka yang korupsi enak-enakan, hidup mewah, sementara ayah yang berjasa mencerdaskan anak bangsa harus memulung di jalanan di tengah hujan deras seperti ini," gerutunya dengan air mata berlinang.

Dunia ini tidak adil. Guru, yang seharusnya dihormati dan dihargai, justru terpinggirkan. Padahal, tanpa guru, tak akan ada dokter, insinyur, atau pemimpin bangsa.

Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh dari luar, diiringi dengan batuk yang menyayat hati. Aku terkejut, jantungku berdebar kencang. Aku lekas bergegas keluar rumah, melawan derasnya hujan, mencari sumber suara.

"Ayah!" ku berteriak dengan kencang saat melihat ayahku tergeletak di pinggir jalan, tubuhnya menggigil kedinginan. Kantong plastik berisi barang rongsokan berserakan di sekitarnya.

Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru. Aku panik, mencoba membangunkannya dengan segala cara, tetapi tubuh ayah terasa dingin. Air mataku bercampur dengan air hujan membasahi wajahnya.

"Ayah... bangun, Ayah!" ku menangis, memeluk tubuh ayahku yang lemas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline