Lihat ke Halaman Asli

Kupu-Kupu Malam

Diperbarui: 25 Mei 2024   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di suatu tempat di kota Jakarta. Lampu warna-warni bersinar sembari suara musik yang asik berdering memenuhi ruang. Aku dan seorang temanku tengah duduk di meja pojok ruangan tersebut. Karena sudah larut, tiada yang mengusik kami. Lampu terang, suara berisik, dan suasana yang mulai sepi tak membuat kami resah, sebab kami telah terbiasa.

"Dandananmu makin tebal aja tiap hari," ujar temanku

"Namanya juga kupu malam, kalau tidak begini tak ada yang mau milih," balasku.

Kami terus bercengkrama, tak menyadari waktu berlari begitu cepat. Cerita akan masa lalu dan pekerjaan keluar begitu saja. Sambil sedikit bercanda, kami bercerita mengenai keresahan terhadap pelanggan.

Namun, aku sedih. Merenungi pekerjaanku ini. Bekerja tiap hari tanpa tau kapan berhenti. Mengorbankan kesucian, tak ada masa depan. Jujur saja aku lelah. Aku lelah dengan keadaanku, lelah dengan kondisiku. "Mau sampai kapan aku begini?" tanyaku dalam hati sambil mengeluarkan setetes air mata.

Selepas itu, aku lekas pulang. Melewati gang-gang kecil yang tampak menyeramkan bagi banyak wanita, tapi tidak bagiku. Di persimpangan gang, di ujung jalan, seorang wanita tua dengan tubuh yang kurus berdiri mematung menatapku. Matanya lesu memancarkan aura kesedihan yang menusuk ke hatiku. Dia wanita pertama yang kujumpa di hidupku, yang membesarkanku saat masih kecil.

"Ibu..." sebuah kata terlontar dari bibirku yang tengah bergetar. Sambil menyembunyikan ekspresi wajahku, aku bertanya,"Ibu kok di Jakarta?"
"Eneng, ibu kangen, kamu kurusan ya?" balas wanita tersebut.
Mendengar suara familiar yang tak lama kudengar, ekspresiku pecah, diri ini tak sanggup menahan air mata. Luapan emosi keluar seraya aku berlari dan memeluk tubuh ibuku yang kurus. 

"Gapapa nak, ibu udah tau semuanya, kamu berhenti ya" ucap ibuku yang juga tak kuasa menahan ekspresi wajahnya, matanya sedikit memerah, dan suaranya sedikit bergetar.

"Iya Bu, mari pulang," jawab anaknya sambil menghapus setetes air mata di pipinya.

Cr: kelvinstevianos




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline