Kekalahan Timnas U-23 Indonesia dari Timnas U-23 Guinea membawa kekecewaan dan kesedihan bagi orang Indonesia. Kita tidak akan menyaksikan tim sepak bola kita di Olimpiade 2024 yang akan dilaksanakan di Paris, Prancis. Sayangnya, kekalahan ini juga mengungkapkan suatu hal yang sudah lama menjadi masalah dalam negeri ini.
Masalah yang dimaksud bukan soal performa Timnas atau PSSI, tetapi kelakuan dari masyarakat kita di internet atau dunia maya. Kekecewaan yang bercampur fanatisme telah membutakan akal dan hati para warganet (netizen).
Timnas Guinea diserang secara verbal di internet oleh netizen Indonesia dan yang lebih pedihnya, banyak ujaran atau komentar berbau rasisme. PSSI sendiri sampai harus meminta maaf kepada FGF (Federasi sepak bola Guinea). Perlu diketahui juga bahwa hujatan-hujatan dari warganet juga salah sasaran. Akun instagram Timnas Guinea Khatulistiwa (Equatorial Guinea) juga terkena bullyan, padahal negaranya beda.
Kejadian seperti itu tidak terjadi sekali saja, bahkan sudah sering terjadi. Beberapa waktu sebelumnya, ada dari kita yang masih ingat dengan apa yang terjadi pada Dewi Sandra. Pasca penangkapan Harvey Moeis oleh kejaksaan, warganet "menyerbu" akun instagram Dewi Sandra.
Banyak netizen mengira Dewi Sandra adalah istri dari Harvey Moeis sehingga Dewi Sandra dihujat sebagai orang yang memiliki hubungan keluarga dengan koruptor. Padahal, nama istrinya Harvey Moeis adalah Sandra Dewi. Hal ini tentu terlihat bodoh sebab terdapat perbedaan yang jelas diantara kedua wanita tersebut, seperti Dewi Sandra berhijab, sedangkan Sandra Dewi tidak.
Begitulah realita dunia maya di Indonesia. Teknologi informasi berkembang secara pesat dalam kurun waktu yang relatif singkat, tetapi etika dan sikap penggunanya belum berubah atau malah semakin menjadi-jadi.
Dari awal abad ke-21 hingga tahun 2024, kita bisa melihat perubahan yang signifikan pada ponsel kita yang awalnya digerakan oleh tombol, sekarang menggunakan touch screen. Begitu juga dengan aplikasi-aplikasi yang tersedia dalam dawai. Misalnya, dulu ponsel hanya dipakai untuk komunikasi dan mungkin bermain game.
Sekarang, sebuah ponsel bisa dipakai untuk menyalakan pendingin ruang hingga melakukan peretasan (hacking). Berbicara soal sikap dari para netizen kita, memang ada beberapa faktor yang mendasarinya. Jawaban yang paling umum kita dengar adalah tidak meratanya mutu pendidikan di Indonesia.
Memang ada benarnya karena orang yang berakal akan cenderung berpikir panjang. Mereka tahu kalau tindakan mereka akan mendatangkan akibat atau konsekuensi. Tapi, hal ini tidak menjawab secara menyeluruh sebab tidak jarang kasus-kasus seperti penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian dilakukan oleh orang yang memiliki gelar pendidikan. Setidaknya ada tiga faktor yang mendasari perilaku toxic warganet.
Pertama, orang akan lebih berani berekspresi di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Ketika beropini di tempat umum, orang perlu berhati-hati dalam merangkai pesan serta harus mampu menangkap suasana. Berbeda dengan di dunia maya, dimana netizen hanya perlu berhati-hati dalam merangkai pesan. Aspek suasana tidak terlalu dominan karena di dalam dunia maya, pesan bisa diakses kapan dan dimana saja.