Lihat ke Halaman Asli

Suandri Ansah

Konten Kreator

Sistem Zonasi Sekolah Hidupkan Nilai Komunal Siswa-Masyarakat

Diperbarui: 14 Agustus 2018   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kemdikbud.go.id

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) optimis Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 dapat menjamin pemerataan pendidikan. Setiap warga negara dijamin-atas izin Tuhan, upaya, dan doa- dapat menikmati hak pendidikan yang sama. Rendahnya angka anak terdidik dipandang bukan karena faktor gratisnya sekolah atau tidak, tetapi akses yang sulit atau mahal. Karenanya, sistem zonasi diharapkan dapat memperkecil hambatan itu.

"Kebijakan zonasi ini menjamin pemerataan akses pendidikan. Pak Menteri selalu menekankan anak tidak mampu agar diutamakan," kata Ari Santoso, Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud dalam urun pandang Kemendikbud dengan Kompasianer di Jakarta, 6 Agustus 2018.

Guna menciptakan iklim pendidikan yang inklusif, pemerintah terus mengupayakan peningkatan anggaran pendidikan. Dari Rp409.1 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp444.1 tirliun pada tahun 2018. Kemana larinya anggaran sebesar itu?

Komponen anggaran pendidikan disebar melalui Belanja Pemerintah Pusat (20 Kementerian/Lembaga dan BA BUN) Rp149.68 triliun, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Dana Alokasi Umum, Dana Transfer Khusus, dan Dana Otsus) sebesar Rp279.45 triliun, dan Pengeluaran Pembiayaan (Pengembangan Pendidikan Nasional dan SWF) sebesar Rp15 triliun.

Kemenkeu.go.id

Tentu Kemendikbud tak boleh loyo, dalam hal ini membuat program pendidikan yang tidak siap guna. Zonasi sekolah dengan segala pro-kontra yang muncul diyakini Kemendikbud sebagai jalan terbaik saat ini untuk segera meratakan akses pendidikan, sambil pelan-pelan meningkatkan kualitas pendidik, sarana, dan prasarananya.

Lewat sistem zonasi, Kemendikbud berharap diskriminasi pendidikan dapat dihilangkan. Pertama, Ari menjelaskan, zonasi sekolah diharapkan dapat mendorong daya kreatif pembelajaran di sekolah. Sistem zonasi membuka homogentias lingkungan pendidikan yang terbentuk karena seleksi penerimaan siswa berbasis nilai Ujian Nasional. Penerimaan siswa dengan seleksi nilai selama ini dinilai hanya mengumpulkan siswa dan guru-guru pintar, yang kemudian memunculkan ekslusifitas sekolah favorit.

"Kreativitas mengajar guru juga dituntut, tidak monolog karena mengajar siswa yang heterogen," kata Ari.

"Tapi apakah gurunya sudah siap?" celetuk salah satu Kompasianer.

"Kalau menunggu siap, sampai kapan..." Kata Ari.

Ari Santoso, Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud

Dilematis memang. Kemendikbud sebagai pembuat kebijakan seperti dihidangkan buah simalakama. Kemendikbud dihadapkan pada pilihan membenahi sistem atau meningkatkan kualitas pendidikan yang sama-sama penting dan genting. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung Kemendikbud memilih pertaruhan yang tidak murah. Benahi sistem, maka kualitas pendidikan ikut terangkat. Begitu keyakinan Kemendikbud.

Kemudian yang paling penting, sistem zonasi diharapkan dapat menghidupkan nilai-nilai komunal pada peserta didik. Salah satu kekurangan sistem pendidikan di Indonesia yakni mampu menelurkan siswa yang pintar akademik, tetapi bodoh bermasyarakat. Pendidikan semacam ini hanya akan membuat siswa merasa sebagai "makhluk langit".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline