Lihat ke Halaman Asli

Trust Fund untuk Otonomi Pendanaan Penanggulangan Bencana

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kebijakan otonomi daerah di Indonesia dimaksudkan untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dan mengoptimalkan pelayanan dasar kepada masyarakat. Sayangnya penggeseran wewenang dari pusat ke daerah seringkali tidak diiringi dengan pengalihan tanggung jawab pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, contohnya dalam penanggulangan bencana. Pada saat kejadian bencana, pemerintah daerah cenderung lambat memberikan tanggapan dan acapkali mengharapkan penanganan langsung dari pusat. Alasan klasik adalah ketiadaan dana untuk penanggulangan bencana.

Konsekuensi otonomi daerah dan pembentukan kelembagaan yang otonom adalah kejelasan pengaturan pembiayaan pembangunan. Sesuai dengan peraturan bahwa sumber-sumber anggaran penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari dana darurat APBN untuk pemerintah daerah, bantuan Pemerintah, dana siap pakai untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan APBD. Padahal kebutuhan pendanaan untuk penanggulangan bencana sedemikian besar dibandingkan dengan kemampuan keuangan daerah yang sangat terbatas. Perlu kebijakan dalam mendayagunakan semua potensi sumber pendanaan yang tersedia. Contohnya sumbangan secara langsung dari masyarakat, lembaga donor, dan dunia usaha perlu difasilitasi dan diadministrasikan.

UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Salah satu kewenangan tersebut adalah pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang dalam level provinsi dan/atau kabupaten/kota. Berkaitan dengan penggalangan dana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) atau lembaga sefungsi diberikan hak untuk menggalang dana bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana sendiri, baik dari perusahaan, masyarakat, maupun lembaga internasional.

UU Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain. Pada saat prabencana, keterlibatan lembaga usaha berhubungan dengan upaya pencegahan bencana yang dilakukan pada saat lembaga usaha tersebut menjalankan usahanya. Berkaitan dengan pencegahan bencana saat menjalankan usahanya tersebut, peraturan perundang-undangan sektoral belumlah mengatur secara jelas. Keterlibatan lembaga usaha saat prabencana juga diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2008[1], peran serta lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dalam penanggulangan bencana bertujuan untuk mendukung penguatan upaya penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pengurangan penderitaan korban bencana, dan mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat. Lembaga non-pemerintah seperti LSM pada dasarnya memiliki fleksibilitas dan kemampuan yang memadai dalam upaya penanggulangan bencana. Kemampuan lembaga nonpemerintah dari sudut pendanaan dan kapasitas sumber daya manusia dalam penanggulangan bencana telah berkembang dengan pesat dan seringkali lebih cepat dari Pemerintah dalam merespon kejadian bencana.

Pada tingkatan kabupaten/kota, peranserta lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dalam penanggulangan bencana perlu diatur secara khusus dalam peraturan daerah. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk: (1) menjamin penghormatan terhadap peran dan tindakan pemerintah daerah berdasarkan kepentingan masyarakat sebagai penanggung jawab utama dalam mengatur dan mengkoordinir kegiatan penanggulangan bencana; (2) memungkinkan masyarakat internasional memberikan dukungan dan kontribusi secara efektif dalam kegiatan penanggulangan bencana; (3) memperjelas proses, peran, dan tanggung jawab pemerintah daerah dan komunitas internasional dalam kegiatan penanggulangan bencana; (4) meminimalisasi hambatan-hambatan administrasi dan hukum yang dapat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pemberian bantuan internasional dalam situasi darurat; dan (5) menjamin kerjasama dan bantuan internasional yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan kualitas standar baik secara nasional maupun internasional.

Meskipun dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah, namun pemerintah daerah perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Berdasarkan PP tersebut, dana yang bersumber dari masyarakat yang diterima oleh pemerintah daerah dicatat dalam APBD. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dana tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, yang sayangnya hingga saat ini belum ada.

Belajar dari Aceh

Pascatsunami Aceh dan gempabumi Nias, Pemerintah RI membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Aceh dan Nias (BRR) dengan mandat sebagai koordinator tunggal seluruh upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk meningkatkan koordinasi dalam pembangunan kembali yang lebih baik (build back better), Pemerintah dan para donor sepakat membentukMulti-Donor Fund(MDF), sesuai dengan pendekatan praktik terbaik yang disusun dalam Deklarasi Paris bagi Efektivitas Dana. Bank Dunia bertindak sebagai pengurus (trustee). Mengingat keragaman donor, Pemerintah RI membuat tiga pilihan tipe pembiayaan yaituon-budget/on-treasury,on-budget/off-treasury, danoff-budget/off-treasury. Skemaon-budget/on-treasuryberarti donor tradisional, bilateral, dan multilateral menyalurkan dananya melalui anggaran Pemerintah dengan menandatangani perjanjian bantuan atau pinjaman dan mendukung kemitraan silang antarpemerintah. Skemaon-budget/off-treasurybagi pendonor yang biasa bekerja dengan Pemerintah dan lebih suka bila pencairan dana bantuan dilakukan di luar KPPN khusus. Skemaoff-budget/off-treasurydiperuntukkan bagi NGOs termasuk badan-badan PBB yang memiliki mekanisme pelaksanaan sendiri di lapangan.

Pada masa tanggap darurat, biasanya banyak sekali bantuan dari masyarakat, perusahaan, lembaga/organisasi nasional maupun internasional, dan negara tetangga yang mengalir tak terkontrol jika Pemerintah tidak siap menerimanya. Para donorpunmemiliki keinginan bermacam dalam menyumbang. Sebagian donatur tidak mau menyalurkan dana hibah mereka melalui APBN, MDTF, atau badan-badan multilateral seperti PBB, World Bank, dan Asian Development Bank, serta NGO. Banyak donatur yang tidak mempunyai waktu dan fasilitas untuk mengelola dana dan program mereka sendiri. Recovery Aceh Nias Trust Fund (RANTF) dibentuk oleh BRR sebagai wadah penyaluran dana hibah tersebut. Dana yang masuk ke dalam RANTF dikelola secara profesional, bertanggung jawab, dan transparan oleh BRR

Pada tahap pemulihan pascabencana seperti di Aceh dan Nias, terdapat sejumlah aktivitas yang sangat diperlukan sebagai proyek penghubung, proyek lintas sektor untuk mengantisipasi kesenjangan, dan aktivitas yang sifatnya darurat. Diperlukan dana yang harus segera dapat diproses pencairannya tanpa melalui prosedur birokrasi yang panjang atau revisi anggaran yang memakan waktu lama, namun tetap memperhatikan akuntabilitas. RANTF mampu menjembatani dan mengelola dana hibah yang penyalurannya tanpa melalui kran APBN atau sering disebut sebagaioff-budget.

Demi menyakinkan pencapaian tujuan dan sasaran, dalam melaksanakan pekerjaannya Tim RANTF menjalankan prinsip fleksibilitas, transparansi, dan akuntabilitas.[2]Dinamika pemulihan yang tinggi membutuhkan keluwesan dalam pengelolaan dana dan program, namun keterbukaan dan pertanggungjawaban harus terpenuhi. Keikutsertaan semua pemangku kepentingan perlu diperhitungkan dan dikoordinasikan untuk menjamin keberlangsungan.MetodeFund Project Matchingditerapkan untuk menyelaraskan karakteristik dan tujuan para donor, penerima manfaat, dan pemangku kepentingan lainnya. Parameter dan indikator kesinambungan dimasukkan ke dalam proposal, struktur, biaya, hasil, dan pemeliharaan setiap kegiatan proyek. Indikator tersebut dimaksudkan untuk melihat sejauh mana keterlibatan masyarakat setempat (penerima manfaat, tokoh masyarakat, aparat pemda), keterlibatan perempuan, serta sadar-lingkungan.

Berkaitan dengan strategi pendanaan, perlu dilakukan pendekatan dan pendampingan kepada para donor serta pemangku kepentingan lain yang melaksanakan programnya. Diupayakan adanya peningkatan komitmen pendonor agar setidaknya mencapai 50 persen dari jumlah bantuan yang telah dijanjikan. Para pendonor mencatatkan kegiatannya ke pangkalan data (database) dalam bentuk registrasi atau pemutakhiran dalam PCN (Project Concept Note). Dengan cara ini, faktor tumpang-tindih dapat direduksi dan sekaligus mendukung proses transparansi kegiatan donor kepada masyarakat.

RANTF mengeluarkan laporan keuangan pra-audit setiap enam bulan dan audit oleh akuntan publik pada akhir tahun. Sebagai salah satu divisi BRR, semua kegiatan dikonsolidasikan ke dalam laporan tahunan BRR yang diaudit oleh negara. Hal ini memberikan keyakinan penuh bahwa seluruh proyek rehabilitasi dan rekonstruksi yang didanai RANTF akan sepenuhnya terkontrol, termonitor, transparan, efisien, dan efektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan Laporan Auditor Publik¾yang disampaikan oleh Johanna Gani mewakili Grant Thornton Hendrawinata (anggota dari Grant Thornton International) selaku akuntan publik¾tentang keuangan RANTF BRR NAD-Nias bertanggal 28 Mei 2008, hasilnya adalah wajar tanpa pengecualian.[3]Keberhasilan RANTF sebagai sebuah mekanisme yang bisa dijadikan bahan pembelajaran (lesson learned), sudah tampak ketika tahun 2006, Ketua BPK menuliskan di dalam makalahnya tentangAudit of Tsunami Relief Fundspada kesempatan simposium internasional yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga audit internasional INTOSAI (International Organization of Supreme Audit Institutions) di Wina, Austria. Anwar Nasution mencontohkan keberhasilan RANTF yang mampu meniadakan biaya adminstrasi (zero% cost administrative) pada pengelolaan dananya. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan berbagai organisasi lainnya di NAD-Nias yang juga mengumpulkan dana dari pihak lain, namun harus memotongnya dengan biaya administrasi antara 3-6%.

Trust Funduntuk penanganan bencana seperti di Aceh dan Nias bukanlah satu-satunya. Pemerintah RI sudah melakukan hal yang sama untuk penanganan pascagempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. RANTF juga menginisiasi pembentukanIndonesia Climate Change Trust Fund(ICCTF) dengan dukungan pendanaan dari DFID, Netherlands, dan EU bekerjasama dengan Bappenas, Departemen Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Mengingat saat ini berlaku desentralisasi penyelenggaraan penanggulangan bencana, maka pendanaan penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Hal yang mesti dilakukan adalah pemerintah daerah perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat, dunia usaha, dan lembaga internasional. Sayangnya, Pasal 7 ayat (4) PP No. 22 Tahun 2008 menyatakan bahwa pemerintah daerah hanya dapat menerima dana yang bersumber dari masyarakat dalam negeri. Aturan ini sangat membatasi daerah untuk mengumpulkan dana penanggulangan bencana dan tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah, khususnya desentralisasi penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sudah seharusnya BPBD atau lembaga sefungsi diberikan hak untuk menggalang dana penanggulangan bencana sendiri, baik dari perusahaan, masyarakat, maupun lembaga internasional. Oleh karena itu, pasal ini harus ditinjau kembali.

Kedua; sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2008, lembaga internasional atau lembaga asing nonpemerintah yang memberikan bantuan berupa dana harus menyampaikan atau mengirimkan secara langsung kepada BNPB. Tidak ada ketentuan yang mengatur apakah dana tersebut harus masuk APBN terlebih dahulu. Kemudian apakah BPBD atau lembaga sefungsi dapat langsung mengakses dana tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya penjabaran lebih lanjut dalam bentuk peraturan pelaksanaannya.

Ketiga; pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, biasanya ditemui kesenjangan antarsektor dan antardaerah. Dibutuhkan kegiatan yang tidak hanya mengantisipasi kesenjangan (gap) saja, melainkan juga kegiatan yang bersifat menjembatani (intermediary). Dalam upaya mereduksi kesenjangan, solusinya adalah proyek lintas-sektor, sedangkan kegiatan penjembatan merupakan prasyarat agar kegiatan lainnya tidak berhenti. Untuk itu dibutuhkan dana yang pencairannya harus cepat tanpa melewati prosedur birokrasi atau revisi anggaran yang berbelit-belit namun tetap menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan transparansi. Salah satu alternatif untuk mengantisipasi masalah tersebut adalah dengan membentuk saluran pendanaan berskematrust fund(dana perwalian). Skema pendanaan ini mampu menjembatani dan mengelola dana hibah yang penyalurannya tanpa melalui kran APBN. Bencana?! Jika Siap Kita Selamat.

[1]Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana.

[2]Dikenal sebagai segitiga elemen efektivitas RANTF:speed(kecepatan),flexibility(fleksibilitas), dantransparency(transparansi). Dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana, yang dibutuhkan adalah tindakan yang segera (rapid response) untuk menolong korban, namun dengan tetap mempertanggungjawabkan penggunaan dana secara transparan.

[3]Agus. 2008. Keuangan RANTF BRR Wajar Tanpa Pengecualian.Harian Waspada, Minggu, 7 September.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline