Lihat ke Halaman Asli

Tidak Usah Tinggalkan Balikpapan

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Kakak, adikmu ini sampai sekarang berusaha memegang teguh perkataan kakak. “Didit, tetap lah di kampung, tidak usah tinggalkan Balikpapan. Jaga ibu dan adik-adik. Kakak harus bekerja di Batu Kajang, 4 bulan lagi baru bisa balik.”

Aku masih di sini, kakak, di Balikpapan. Aku tidak seperti kakak yang lebih mudah mendapatkan pekerjaan karena kakak pandai dan lulus STM dengan nilai baik. Aku hanya lulus SMA dengan nilai pas-pasan. Pernah adikmu ini berhasil masuk bekerja di Samboja dengan usaha yang keras dan lewat jalur keras. Namun sekarang ini proyek telah habis dan tidak ada perusahaan yang mau menerima bekerja adikmu ini setelah
itu.

Di kampung semakin tidak menentu, teman-teman banyak yang masih menganggur. Sehari-hari kami berjudi, uang kami dapat dari mengangkut barang-barang di pasar atau menjadi tukang parkir. Kemudian ada suplier
yang menawarkan ku untuk menjadi
dokter. Di kampung ada beberapa pasien, kakak. Di samping itu adikmu ini mulai merambah ke tempat-tempat lain di Balikpapan.

Adikmu ini sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun, apa-apa sekarang mahal, kakak, ibu perlu dibantu untuk sehari-hari. Namun adik selalu berdoa semoga diberikan umur panjang oleh Yang Maha Kuasa agar dapat memperbaiki diri kelak. Bukan kah, kakak pernah bilang, hidup adalah menghadapi masalah. Dan untuk sementara, ini lah cara adikmu ini menghadapi masalah, menghadapi risiko. Hidup adalah keberanian, kata kakak lagi.

Risiko persaingan dengan dokter lain memang ada. Namun hidup adalah keberanian. Sekarang ini adikmu tidak pernah lepas dari sobat kecil tajamku, badik.

Bila kakak masih ingat, adik pernah minta tolong untuk dicarikan pekerjaan apa saja di tempat kerja kakak. Selanjutnya kakak tidak pernah menanggapi permintaan adikmu ini tentang pencarian pekerjaan. Tampaknya kakak tidak tega melihat adik bekerja setiap hari 12 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu pada pertambangan batu bara. Lagi pula kakak lebih menginginkan adik tetap menjaga ibu dan adik-adik di Balikpapan.

Sampai surat ini adik tulis, adik tidak meninggalkan Balikpapan. Walaupun adik sudah tidak lagi bagian dari kemajuan Balikpapan. Adikmu ini telah menjadi dokter yang melayani pasien dengan obat-obatan. Adikmu ini telah masuk DPO. Aparat sudah mencari-cari adikmu ini.

Pernah tiga hari aku tinggal di kos-kosan teman sesama dokter, dia seorang perantauan dari luar pulau Kalimantan, badannya penuh tato, namun berambut rapi. Dia selalu memakai baju lengan panjang dan celana panjang untuk menutupi tatonya. Kami sama-sama mendengarkan musik. “Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti…” lagu dari kaset yang adik pinjam saat kakak akan berangkat ke Batu Kajang.

Dia meminjam kaset kaka, namun tidak berniat mengembalikannya saat aku tagih kembalikan. Sampai aku harus merebutnya dengan perkelahian kecil. Badik adik tikam kan ke perutnya, kemudian lari bersama kaset kakak.

Kakak, adikmu ini akan terus di sini di Balikpapan. Akan selalu Didit ingat pesan kakak: “Tidak usah tinggalkan Balikpapan.”

Bila kakak telah membaca surat ini berarti kakak telah kembali ke Balikpapan. Adik dapat kakak temui di antara warung-warung di jalan Gajah Mada pada malam hari adik tidur di situ.Kaset kakak akan adik kembalikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline