Lihat ke Halaman Asli

Aku Adalah Meteor

Penulis Yang Tersakiti

Menyoroti PSBB Kota Bandung

Diperbarui: 3 Mei 2020   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto.tempo.co

Tadi sore cuaca cukup cerah di langit Kota Bandung. Seperti biasa, saya duduk santai di bawah lampu merah arah pintu keluar Toll Kopo. Sambil nyantai saya menikmati pemandangan kendaraan yang tetap ramai di tengah ketatnya aturan PSBB. Di dekat saya duduk, ada Pos Checkpoint di pintu keluar Toll Kopo. 

Disana lengkap sekali, ada Polisi, TNI, Satpol PP, petugas kesehatan, serta penjual sarung tangan dan masker. Mereka bahu membahu untuk menegakkan aturan pelarangan melintas pos checkpoint bagi pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan sarung tangan maupun yang berboncengan meskipun suami istri ataupun seorang ibu dengan anaknya. 

Ada pula sepasang suami istri dan seorang putrinya yang masih mengenakan seragam TK dalam sebuah mobil sedan mewah, di berhentikan lalu sang istri yang tadinya duduk di samping suami diminta agar pindah ke belakang oleh petugas agar di izinkan melanjutkan perjalanan. Saya langsung berfikir, apa nanti dirumah mereka beda kamar tidur? Atau seandainya sang istri menolak dan melawan, apakah mobil dan keluarga kecil itu bakal ditahan di pos checkpoint? Lantas bagaimana bila ada 2 orang dalam mobil pickup atau truck? Haruskah salah satu pindah ke bak? Kan melanggar undang-undang lalu lintas?

Ada lagi bapak-bapak naik motor tapi tidak menggunakan sarung tangan, di berhentikan oleh Pak Polisi. Kemudian saya liat dari kejauhan bapak itu turun dari sepeda motor dan berjalan membeli sarung tangan di dekat pos itu, karena banyak penjual sarung tangan yang berdiri juga disitu bersama Pak Polisi. 

Setelah membeli dan memakainya, barulah bapak ini boleh melanjutkan perjalanan. Lalu saya tersenyum sambil bergumam, ini point pencegahan covid19 nya di mana? 

Ada pula ibu-ibu yang berboncengan baru selesai berbelanja dari swalayan. Sebelum melewati pos, dari jauh ia menurunkan perempuan yang membonceng itu. Yang satu naik motor, yang satu jalan kaki lalu melewati pos. Tak jauh setelah melewati pos, mereka berboncengan kebali dan melanjutkan perjalanan. Kembali saya tertawa, ini lelucon macam apa?

Pikiran saya lalu melayang-layang. Yang saya pikirkan bukan mereka para pelaksana aturan di lapangan, namun bagaimana ekspresi sang pembuat aturan saat melihat kejadian ini. Mungkin beliau sedang tertawa geli dirumah sambil nonton berita PSBB Kota Bandung di tv. Dan mungkin beliau tertawa sambil bergumam, kok bisa ya mereka tetap menerapkan aturan saya dengan tegas padahal gak masuk akal? Kok bisa ya mereka nurut begitu sama saya? Apa gak malu mereka menerapkan aturan saya yang gak masuk akal? HAHAHA...

Ah sudahlah. Mungkin saya yang pikirannya masih dangkal. Mungkin pikiran saya tidak mampu mencerna rancangan para pemimpin negeri ini. Mungkin saya yang aneh, mikirin hal yang gak penting ini. Kemudian saya melirik jam tangan saya, nampak tulisan Alexander Christie dam 3 buah jarum jam yang menunjukkan pukul 17.17'17". Saya bergegas pulang karena saya lelah terlalu banyak tertawa di bawah lampu merah. Tapi lumayan, sebagai humor jalanna di bulan Ramadhan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline