Lihat ke Halaman Asli

Josua Pardede

TERVERIFIKASI

Chief Economist - PermataBank

Antisipasi Pelemahan Ekonomi China

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1349072561439402008

Kesuksesan ekonomi  Cina telah menyita perhatian dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai ‘double digit’ dalam 3 dekade terakhir ini. Sebagai negara Asia yang menganut konsep komunis sosialis,  Cina telah berhasil mengimplementasikan sistem ekonomi pasar yang menjadi karakteristik ekonomi liberal.  Cina yang telah bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001, negara panda tersebut telah memperluas kegiatan perdagangannya dan bertransformasi untuk berintegrasi dengan ekonomi dunia. Dengan penduduk 1,35 milliar penduduk, perekonomian Cina sangat bertumpu pada konsumsi dalam negeri.

Perlambatan ekonomi Cina sebagai dampak dari krisis utang Eropa dan kebijakan pemangkasan suku bunga acuan oleh bank central  Cina telah mendesak pemerintah Cina untuk menurunkan target pertumbuhan ekonominya menjadi 7,5% di tahun 2012. Hal ini meningkatkan kecemasan terhadap penurunan ekonomi secara tajam (hard landing) di  Cina. Kecemasan ini terlihat dari data pertumbuhan  ekonomi Cina yang tumbuh sebesar 8,1% yoy, melambat secara signifikan dari kuartal keempat 2011 yang mencapai level 8,9% yoy. Data pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2012 tersebut merupakan yang terendah sejak awal tahun 2009. Perlambatan ini kemungkinan besar disebabkan oleh pelemahan permintaan domestik dan luar negeri, investasi dan penurunan ekspor.

13490726751452023533

Krisis utang Eropa mempengaruhi perekonomian  Cina khususnya pada sektor keuangan dan pasar perdagangan. Di sektor keuangan, krisis Eropa mempengaruhi pasar saham dan harga obligasi melalui efek penularan (contagion effect) sebagai dampak dari capital outflow dan deleveraging oleh perbankan Eropa . Pada sektor perdagangan internasional, perlambatan ekonomi Cina dipicu oleh penurunan kinerja ekspor ke Eropa akibat konsolidasi fiskal dan depresiasi mata uang Euro. Konsolidasi fiskal di Eropa dipengaruhi oleh penurunan belanja pemerintah yang menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga. Lebih lanjut, krisis utang Eropa menyebabkan Euro terdepresiasi yang menyebabkan mahalnya harga barang impor dari Eropa. Kombinasi konsolidasi fiskal dan depresiasi Euro menyebabkan penurunan kinerja ekspor  Cina ke Eropa.

Dampak dari krisis Eropa dalam pasar keuangan diperkirakan akan relatif kecil. Krisis Eropa yang mempengaruhi harga di Eropa dan pasar keuangan Amerika Serikat juga mempengaruhi harga saham dan obligasi di  Cina. Namun, tingginya investasi dan kepercayaan pasar terhadap pasar modal  Cina menyebabkan kinerja bursa saham Shanghai cenderung stabil. Lebih lanjut, tingginya pasar  domestik di  Cina diperkirakan akan menjadi daya tarik untuk investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) ke negara tersebut.. Walaupun FDI cenderung menurun sejak tahun 2009 sebagai efek krisis Amerika Serikat,  investasi aset tetap (fixed asset)  muncul sebagai motor penggerak investasi.

1349072780561993674

1349072842818202856

1349072894277025692

Dalam sektor perdagangan, memburuknya kondisi perekonomian Eropa dan belum pulihnya perekonomian Amerika Serikat juga mempengaruhi penurunan ekspor Cina.. Sebagai dampak krisis utang di Eropa, kinerja ekspor Cina  juga menurun dan bahkan telah mengalami kontraksi pada kuartal pertama di 2011 dan 2012. Walaupun eksposur Eropa dan Amerika Serikat menurun, kinerja perdagangan internasional Cina  masih terselamatkan karena Hong Kong, ASEAN, Jepang dan negara berkembang lainnya masih mengimpor komoditas dari Cina. . Krisis Amerika Serikat di tahun 2008 telah mendorong Cina  untuk memindahkan tujuan ekspornya ke Asia. Ekspor Cina  masih didukung oleh pertumbuhan yang positif di Asia dan peningkatan perdagangan Asia sebagai implementasi China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) di tahun 2009.

13490729601260779912

Efek Perlambatan Ekonomi China terhadap Indonesia

Keberhasilan China telah mendorong ekspor sehingga menghasilkan cadangan devisa sebesar USD 1,3 triliun, yang terbesar di dunia. Namun, sejak Januari 2012 kinerja ekspor China menurun akibat impor yang tumbuh lebih cepat dibandingkan ekspor. Pelemahan kinerja ekspor tersebut berlanjut di bulan Februari 2012, dimana untuk pertama kalinya dalam dua dekade terkahir, defisit perdagangan China mengalami titik terendahnya sebesar USD 31,6 miliar.

Penurunan kinerja perdagangan China dijadikan alasan rasional untuk merevisi penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, China telah mendevaluasi mata uangnya sebesar 8,7% menjadi 6,72875/USD jika dibandingkan dengan posisi 2 tahun yang lalu. China mengimplementasi sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan rentang ±0,5% dari rata-rata nilai tukar. Melihat ekspor-impor China dalam 2 bulan terakhir ini, investor perlu waspada terhadap dampak penurunan perdagangan China terutama terhadap eskpor Indonesia.

Perkembangan C-AFTA dalam 2 tahun terakhir ini, kinerja ekspor-impor Indonesia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ekspor tumbuh sebesar 35,5%yoy di tahun 2010 dan sebesar 28,9% di tahun 2011, walaupun demikian, impor bahkan tumbuh lebih cepat sebesar 40,1% yoy di tahun 2010 dan sebesar 30,8% yoy di tahun 2011.  Akan tetapi, neraca perdagangan tetap positif dengan surplus yang menurun. Dengan pelemahan permintaan dari UE. Indonesia menjadi target pasar China pada khususnya barang konsumsi. Lebih lanjut, di saat yang sama, PDB per kapita Indonesia meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah masyarakat golongan menengah.

Di sisi ekspor, perlambatan China menjadi ancaman langsung bagi ekspor Indonesia. China sebagai salah satu negara tujuan ekspor untuk barang komoditas dan mineral. Ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO) akan terancam oleh pelemahan permintaan China. Ekspor CPO dari Indonesia ke China yang merupakan eksposur ketiga terbesar mencapai 20% dari total ekspor CPO. Di samping itu pula, ekspor batubara ke negara China mencapai 25% dari total ekspor batubara. Sejak Januari 2012, ekspor 2 komoditas tersebut telah menunjukkan penurunan berarti sebagai dampak dari penurunan kinerja ekspor China. Selain itu, dalam 5 bulan terakhir ini laju ekspor menuju ke arah negatif.

Ke depannnya, perlambatan ekonomi China diperkirakan akan bersifat sementara dan akan segera pulih, demikian pula dengan ekspor Indonesia. Selanjutnya, pemerintah diharapkan juga dapat memperluas negara tujuan eskpornya sehingga ekspor nasional tidak sepenuhnya bergantung pada negara-negara tertentu saja. Kebijakan pemerintah yang mendorong peralihan dari industry hilir menjadi industri hulu sangat diperlukan sebagai contoh kebijakan pembangunan mesin pelebur mineral (smelter) yang bertujuan menciptakan nilai tambah.

Kompetensi ekspor di kawasan Asia perlu ditingkatkan dengan upaya untuk meredam ekonomi biaya tinggi. Pada sisi impor, pemerintah diharapkan dapat mengelola dan memproteksi pasar di tengah penerapan C-AFTA. Selanjutnya, produk-produk dalam negeri diharapkan dapat bersaing dengan barang-barang impor yang relatif murah yang pada akhirnya dapat memperkuat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. This paper is a personal opinion from Josua Pardede, Economist of PT BNI Securities.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline