Lihat ke Halaman Asli

Selama Hayat Masih Dikandung Badan

Diperbarui: 22 November 2018   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh Josua Hasiholan Munthe

Angin malam menusuk bagai semerbak bunga yang meluluhkan raga
Beriring detik, bertambah gelap
Tiap malam ku merenungi hidup tanpa makna
Akulah pujangga yang sudah rusak

Ketidakpastian menjalar bak akar beringin satu abad
Ketidakpastian menjalar seolah fitnah kejam
Melenyapkan gudang dalam seribu malam
Memenjarakan hati, mengelabui nurani

Kulayangkan surat kecil tuk Ibu Pertiwi
Semuanya sia-sia... Sia-sia...
Hanya terlempar jaringan mahal tak kasat mata

Kaum jelata tergeletak di lorong bencana setiap malam
Diterpa malu, ditampar dingin, dihisap kehidupan
Bertahun tahun tiada henti menetaskan pahit kesakitan
Kaum jelata, kaumku yang kukasihi.
Tunggu!!!
Selama matahari masih bersinar,
selama bulan masih benderang,
selama pelangi masih berwarna,
dan selama hayat masih dikandung badan
Pantaskah aku generasi muda hanya diam?
Tidak, Tak kan pernah! Tak kan mungkin!

Aku berjuang tapi tersingkir
Aku pulang berkawan pencapaian, tak digubris
Aku berusaha mengkritik, tak dilirik
Aku bersorak! Berteriak! Menjerit!
Hanya ada sepi, Hanya ada parau suara ini

O, Tuhan.....
Berilah hamba jalan,
Begitu sakitnya hidup dirundung ketidakadilan
Sakit yang merasuk dalam-dalam
Ingatkan mereka bahwa kami adalah saudara jua
Yang berasal dari rahim Hawa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline