Pada abad ke-20 bahasa beralih dari sekadar sarana untuk menyampaikan pikiran dan perasaan menjadi syarat kemungkinan pengenalan. Bahasa menggantikan epistemologi yang berarti bahwa kebenaran tidak melekat pada fakta, tetapi melekat pada proposisi.
Menjadi masalah ketika ada pendakuan otoritas kesahihan penafsiran. Padahal makna tidak hanya bersumber dari bahasa, tetapi juga pengalaman. Kebenaran tidak hanya merujuk pada kata tetapi juga fakta. Cuaca kultural inilah yang terlihat dominan di Indonesia menurut Supelli.
Ciri antropologis pengetahuan disingkirkan agar dapat mendaku kebenaran ilmu demi berhubungan dengan kekuasaan. Ketika manusia mengklaim pengetahuan tentang tuhan, ia menjadi tuhan itu sendiri yang dipertaruhkan melalui pelbagai epistemologi (laku mengetahui).
Menurut Supelli, ketegangan antara makna dan penafsiran dapat diatasi dengan pendekatan trans-disiplin. Trans-disiplin merupakan suatu meta-metodologi untuk melampaui keterbatasan suatu bidang pengetahuan. Bertujuan untuk mencari koherensi narasi dalam keanekaragaman gejala pengalaman manusia, bukan malah melahirkan disiplin baru, unifikasi epistemologi ataupun kesepakatan.
Pendekatan trans-disiplin membutuhkan keketatan nalar agar tidak jatuh pada permainan kata dan manipulasi metodologis yang beresiko membawa pada dakuan mutlak objektivitas beserta rezim kebenarannya dengan kekerasan dogmatisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H