Kebebasan Tuhan dan Sains
Pertanyaan yang terus berkembang di antara para teolog dan filsuf kepada para ilmuwan, adakah jejak Tuhan di dalam hukum-hukum fisika? Ada kah kehendak-kehendak-Nya yang dinyatakan di sana? Para teolog dan filsuf ini mengharapkan sebuah tilikan tentang Tuhan dari sains. Tapi mereka yang menjalankan refleksi secara mendalam akan mengerti, menghadirkan Tuhan dalam sains bukanlah perkara yang mudah.
Pikiran tentang Tuhan datang dari Albert Einstein, yang pernah mengaku kepada Ernst Gabor Strauss tentang hal yang sangat mendasar baginya yaitu mengerti pikiran Tuhan saat menciptakan alam semesta. Menurut Max jammer, Tuhan yang dimaksud oleh Einstein bukan Tuhan secara pribadi, Tuhan bagi ilmuwan bisa jadi apa saja, sesuatu yang berkuasa menciptakan alam semesta. Ibu Karlina mencoba menafsirkan pemikiran Einstein, Einstein tidak suka pada probabilitas, dia berpegang pada determinisme, segala sesuatu sudah ditentukan dari awal sampai akhir. Ketika Einstein bertanya, apakah Tuhan bisa menciptakan alam semesta yang berbeda? Sesungguhnya dia bertanya tentang alam yang mungkin menyembunyikan sesuatu atau alam memang demikian adanya, sebuah dunia yang menyembunyikan sesuatu di realitas yang paling dalam dalam sehingga apa yang objektiv menjadi tidak mungkin.
Para filsuf alam abad ke-17 percaya bahwa seluruh keberadaan alam semesta adalah buah kehendak Tuhan. Kehendak bebas Tuhan dalam hal menciptakan alam semesta tidak dikaitkan pada rasionalitas dan kebaikanNya. Dia berkehendak maka jadilah. Namun, ajaran kosmos Aristoteles dan para filsuf lainnya dengan teori-teori mereka berusaha mengekang atau membatasi kehendak bebas Tuhan dalam penciptaan. Perdebatan-perdebatan soal kebebasan Tuhan ini akhirnya berujung pada dekrit 1277. Kemudian William Okham (1287-1347) yang berusaha membebaskan Tuhan dari batasan-batasan sains berdasarkan dua pegangannya yaitu potential dei absoluta, kekuasaan Absolut Tuhan dan potential dei ordinata, kekuasaan penyelenggaraan.
Jadi, Semua uraian di atas tentang kebebasan Tuhan dalam penciptaan alam semesta dan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan sains yang menghasilkan perdebatan antara ilmuwan filsuf dan teolog adalah masalah keterbatasan bahasa, bahasa di sini adalah cara memahami. Setiap peran memandang hal itu dari apa yang dapat mereka dapati, pahami dan yakini. Bagi ilmuwan dan filsuf hal yang tak terdefinisi adalah batas pengetahuan, bagi teolog di situlah tempat Tuhan berada, dan Tuhan tidak dapat dibatasi.
Ada keterbatasan manusia, ada hal-hal yang tidak terjangkau, tidak terpikirkan dan tidak dapat dijelaskan, di saat itulah Tuhan dicari, baik Tuhan menurut teolog, ilmuwan dan filsuf. Pengetahuan manusia adalah sebatas sejauh mata memandang. Jika suatu saat ada hal baru lagi yang ditemukan di dalam alam semesta dan diri manusia, pasti masih ada lagi ruang bagi misteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H