Lihat ke Halaman Asli

Josua Gesima

Mahasiswa S2

Upaya Trans-Disiplin Supelli terhadap Ilmu-ilmu Dikotomi

Diperbarui: 18 November 2022   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Upaya Trans-disiplin

Upaya yang dilakukan Supelli dalam mengatasi ketegangan antara makna dan penafsiran adalah menawarkan pendekatan trans-disiplin. Menurutnya, pendekatan ilmu-ilmu selama ini membawa ke dikotomi antara penjelasan dan penafsiran, antara fakta dan makna, dan tidak membawa keluar dari risiko dogmatisasi pengetahuan dan pemutlakan penafsiran serta skeptisisme nalar. Pendekatan lintas disiplin hanya meminjam paradigma (data, teori, pendekatan) dari satu bidang untuk memandu bidang lain menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sedangkan pendekatan multi-disiplin yang melibatkan dua atau lebih bidang agar perspektif yang berbeda-beda terkumpul, sebenarnya tidak terlalu menghasilkan pertukaran konseptual, kombinasi, atau pun integrasi yang memadai untuk memahami kerumitan gejala. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah pendekatan trans-disiplin sebagai cara penalaran yang tidak mengandaikan adanya penyatuan lewat konvergensi epistemologis ataupun mengandaikan bahwa satu bidang terisolasi dari bidang lainnya (Supelli dkk 2011, 77-8).

Supelli tampaknya berhasil menjawab kerisauan yang dimunculkan sejak awal, yakni tentang cuaca kultural bangsa Indonesia yang diwarnai oleh fanatisme dan ekstremisme. Melalui jembatan kosmologi, Supelli dengan tegas menunjukkan batas-batas pengetahuan. Bahkan, manusia sebagai subjek pengetahuan terbatas secara spasio-temporal sehingga menghalanginya untuk mengetahui realitas alam semesta secara utuh. Namun, apakah keterbatasan manusia mencerap realitas dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi atas keberadaan nihilisme? Tampaknya Supelli berada pada titik moderat di antara objektivisme absolut dan subjektivisme nihilistik. Ia tidak serta merta menyangkali realitas sebab manusia masih memiliki kemampuan untuk mencerap sekalipun terbatas. Persoalan yang justru perlu diwaspadai ialah ketika tafsir atas realitas diarahkan pada klaim kebenaran tunggal. Hal ini jelas menghilangkan ciri antropologis pengetahuan sehingga memunculkan fanatisme. Dengan demikian, jelas apabila problematika semacam ini terjadi dalam usaha mencerap realitas ketuhanan. Jika kebenaran agama ditafsir sebagai kebenaran tunggal, fanatisme agama yang mengarah pada ekstremisme merupakan hal yang pasti. Oleh karena itu, manusia perlu secara rendah hati bersedia menerima batas-batas pengetahuan kala berhadapan dengan pengalaman manusia. 

Acuan

Supelli, Karlina, dkk. 2011. Dari kosmologi ke dialog: Mengenal batas pengetahuan, menentang fanatisme. Jakarta: Mizan Publika.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline