Memahami kosmos dan Kosmos
Dalam kosmologi, 'alam semesta' secara kritis dapat dipahami sejauh berdasar pada model-model kosmologis. Artinya, ada penyelidikan ilmiah yang dilakukan untuk melegitimasi teori 'alam semesta'. Namun, secara epistemologis dan metodologis tidak dapat diabaikan bahwa model kosmologis mengandung elemen-elemen personal pengetahuan yang tidak mengambil bentuk proposisi ilmiah.
Dalam filsafat ilmu, elemen-elemen ini dikategorikan sebagai dimensi di luar (extra-science). Istilah ini merujuk pada semua faktor yang berperan secara heuristik dalam proses penemuan, tetapi ditinggalkan ketika teori sudah dirumuskan. Pandangan ini masih memberi ruang bagi elemen-elemen personal untuk masuk dalam kategori rasional sains. Berbeda dengan pandangan tersebut, Kuhn justru terkesan tidak memberi ruang bagi elemen-elemen personal dalam kategori rasional. Kuhn melihat ilmu pengetahuan berkembang terutama oleh putusan-putusan non-rasional komunitas ilmiah. Artinya, elemen-elemen personal dianggap Kuhn sebagai irasional (Supelli dkk 2011, 49-50).
Bagi Supelli, kosmologi menjadi mungkin ketika ilmuwan sanggup membangun imajinasi, menggunakan intuisi, dan tilikan dari pengalaman-pengalamannya tanpa terpenjara dalam tetek-bengek metode ilmiah. Oleh karena itu, dalam upaya memahami alam semesta, Supelli melibatkan dimensi antropologis -- dengan segala kapasitas imajinasi, pengalaman, dan penafsirannya -- sebagai syarat metodologisnya. Supelli menerjemahkan alam semesta dalam dua model, yakni kosmos (dengan k kecil) dan Kosmos (dengan K besar).
Kosmos dipandang sebagai perkara pengetahuan yang ditopang oleh data dan diteguhkan oleh metode verifikasi/falsifikasi, sedangkan Kosmos sebagai perkara penafsiran atas pengalaman tak terkatakan yang seringkali didasari oleh wahyu. Masalah kita terletak dalam kenyataan bahwa kosmologi dalam pengertian "k" maupun "K" telah melibatkan penafsiran manusia di dalamnya, baik ketika kita menafsirkan data ilmiah atau pun menafsirkan "bahasa Allah". Kita mencoba mendefinisikan diri kita menurut hakikat realitas namun berujung dengan mendefinisikan realitas menurut hakikat kita (Supelli dkk 2011, 68-70).
Menurut Supelli, segala bentuk penafsiran merupakan proses dialektik antara dugaan dan peneguhan sehingga tak ada hasil akhir yang defenitif karena akan selalu ada penafsiran baru terhadap pengalaman. Oleh karena itu, penafsiran bukan disahihkan lewat data empiris, melainkan dengan cara menghadapkannya ke penafsiran lain yang merupakan tandingannya. Dengan kata lain, kesahihan penafsiran pada dasarnya adalah perkara argumentatif bukan data empiris (Supelli dkk 2011, 71).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H