Lihat ke Halaman Asli

Josua Gesima

Mahasiswa S2

Hinduisme dalam Pandangan Smith dan Van Voorst

Diperbarui: 16 November 2022   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

HINDUISME (Smith, "The Hindu Instance"; Van Voorst)

Hinduisme merupakan salah satu agama tertua di dunia dan penganutnya secara internal memiliki keberagaman dikarenakan menyembah banyak dewa dan menawarkan banyak jalan menuju keselamatan. Generalisasi kitab suci hindu sangat sulit dilakukan karena luas dalam penggunaan, bervariasi dalam penggunaan, dan pengaruh yang mendalam, banyak kitab suci telah diucapkan, didengar, diajarkan, dan diulang selama 3.000 tahun. Namun, garis utama dari kitab suci ini dapat dilacak dengan baik, karena umatnya memperbolehkan untuk dipelajari meskipun isinya yang luas. Kitab suci umat Hindu yang bernama Veda/Weda, dibagi menjadi dua kitab suci yaitu, Shruti (Kitab Suci Veda) dan Smriti (Post Kitab Suci Veda).

      Shruti (Kitab Suci Veda) "apa yang di dengar'' sebagai wahyu utama dari apa yang di dengar oleh oleh Resi [REEshees] seorang peramal kuno dari Ida Sang HYang Widhi Wasa, Resi menangkap suara kebenaran kosmik kemudian Resi memulai proses transmisi lisan dan praktek melalui keluarga imam yang berlanjut hari ini. Weda terdiri dari empat Kitab Pengatahuan (Reg Weda, Yajur Weda, Samar Weda, dan Athrarva Weda) serta Brahmana (Buku Brahmana), Aranyaka (Buku Hutan), dan Upanishad (Duduk di dekat Guru).

Smriti [SMRIH-tee], ''apa yang diingat'' adalah untuk memunculkan arti dari Shruti dan menerapkannya pada masa selanjutnya. Hindu menganggap wahyu Smriti di dasarkan pada Shruti. Smriti adalah sastra yang sangat luas dalam ukuran dan ruang lingkup. Mulai dari mitos dan legenda Purana, Epos (syair kepahlawanan) seperti Mahabharata dan Ramayana, dan kode hukum seperti Hukum Manu dan Institut Wisnu serta Kitab Tantra.

Selanjutnya karena pada dasarnya Wahyu Weda yang dituturkan dan didengarkan secara lisan selama ribuan tahun dan kekuatannya ada didalam pengucapanna, Voorst mengkritik penulisannya yang menurutnya "tidak masuk akal" dan "tidak senonoh". Umat hindu percaya suara dalam menyampaikan Weda, lebih penting daripada isinya. Alasannya karena suara yang didengar oleh orang bijak yang bergema dari penciptaan alam semesta dan bahwa suara yang sama akan digunakan lagi pada siklus penciptaan berikutnya. Guru yang mengajarkan pada muridnya (Brahmana muda) setiap elemen dari Kitab Weda baik dalam pengucapan yang benar, puitis, volume, dan nada. Brahmana yang unggul dalam pelafalan Weda dan pelaksanaan ritual disebut (Pandita). Brahmana muda dididik untuk mempelajari salasatu dari empat kitab Weda.

Sebagian besar bentuk Weda kuno dari bahasa Sanskerta telah hilang, dan sebagian besar maknanya tidak dapat ditemukan kembali. Oleh karena itu, selama 2.000 tahun terakhir, para brahmana sering kali tidak mengerti apa yang mereka katakan saat mereka melafalkan Weda dalam ritual. Tapi sekali lagi mereka menganggap bahwa isi atau makna tidaklah penting tetapi suaralah yang penting.

Teks Upanishad menjadi teks untuk filsuf, khususnya aliran hindu wedanta, mereka merenungkan kitab suci untuk memungkinkan dibebaskan dari kelahiran Kembali. Sebuah aliran Neo-Vedantik yang dipengaruhi oleh gagasan keagamaan barat dalam seratus tahun terakhir dengan menggunakan tema-tema kuno Hindu sebagai Theisme (kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan dan dewa-dewa) dan untuk toleransi antar agama.

Dari semua Kitab Suci Hindu Epos (syair kepahlawanan) adalah yang paling terkenal dan dicintai, yang merupakan teks khusus dari gerakan bhakti Wisnu-Krishna. Yang juga menegaskan dan mengintegrasikan banyak aspek utama dalam agama Hindu, yang telah diterima dan berpengaruh di antara sebagian besar umat Hindu, dan juga untuk promosi keagamaan.

Sekali lagi keunggulan Kitab Suci Hindu adalah dalam bentuk lisannya, misalnya empat Weda yang disusun dalam dikumpulkan sebelum tulisan itu dikenal. Atas perintah sultan non-Hindu yaitu Dara Shikoho dari kekaisaran Mughal yang ingin kalau karya lisan ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Persia, sejak saat itu Upanishad juga diterjemahkan dalam Bahasa india dan Bahasa Sansekerta. Tradisi Hindu menganggap tulisan itu mengotori kesucian kata-kata yang diucapkan.

Membandingkan sikap Hindu terhadap kitab sucinya antara sikap orang barat, Daniel Gold berkomentar "Gagasan otoritas Veda yang dikenal oleh umat Hindu tradisional jauh lebih menyebar dan abstrak daripada gagasan tentang kanon alkitabiah tertutup yang dikenal di Barat. Orang-orang Kristen, misalnya, menafsirkan secara beragam teks yang diwahyukan yang dapat diakses oleh kebanyakan orang dan yang dapat mereka pahami secara literal. 

Bagi umat Hindu, sebaliknya, penghormatan terhadap otoritas kitab suci seringkali dapat berarti hanya bahwa mereka berpikir bahwa apa yang mereka lakukan entah bagaimana berasal dari Veda, teks-teks yang pada zaman kuno sangat jarang digunakan atau dipahami lagi. Mereka ada sekarang terutama sebagai kata-kata kekuatan yang dimasukkan ke dalam ritus-ritus yang lebih baru." 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline