Lihat ke Halaman Asli

Joshua

Akun arsip

Jadi Kompasianer karena Terinspirasi Jakob Oetama

Diperbarui: 9 September 2020   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakob Oetama (Sumber gambar: Pikiran Rakyat)

Jakob Oetama. Salah satu nama selain PK Ojong yang selalu muncul di bagian paling atas pada halaman terdepan Harian Kompas, merek dan nama koran harian nasional setiap pagi sejak saya masih bersekolah. Ia dikenal sebagai salah satu dari dwitunggal pendiri dan perintis Harian Kompas, koran harian nasional terbesar di Indonesia saat ini.

Jangankan bertemu, saya belum mengenal mendiang pada saat itu, yang biasa kita sapa sebagai Pak JO, baik di lingkungan kantor di Kompas Gramedia, maupun menjadi nama panggilan yang akrab dalam dunia kewartawanan dalam negeri. Wajar saja, pada tahun 2003 saat saya masih sekolah dulu, kemajuan internet belum sepesat sekarang. Belum ada e-paper ataupun e-pub yang menggantikan rupa penyajian koran dengan gaya kekinian saat lembaran kertas berubah wujud menjadi data berukuran sekian kilobita. Kompasiana sebagai portal blog waktu itu juga belum ada.

Ketika internet sudah mulai digunakan secara luas dan sporadis di Tanah Air mulai tahun 2008, dimana musim online sudah banyak bermunculan, saya berpindah dari menulis di atas selembar kertas menjadi ketikan komputer. Pada tahun itulah saya mengenal Blogspot dan Wordpress, dua platform blogging yang populer hingga sekarang. Namun di Indonesia, muncul pula satu platform media blogging bernama Kompasiana yang waktu itu diisi secara terbatas oleh jurnalis di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia.

Buah Pikir dalam Platform Digital Kompas

Seingat saya, Kompas-lah yang terlebih dahulu memulai revolusi pers digital Indonesia, dengan membentuk Kompas Cyber Media (KCM) pada 1995. Ini merupakan tonggak sejarah baru, dimana apapun yang dimuat oleh Harian Kompas pada hari itu juga terbit dalam situs resmi Kompas, yang kini kita kenal sebagai Kompas.com. Pada masa itu pula, internet masih terbatas dan eksklusif, sehingga tidak diperlukan biaya berlangganan untuk bisa mengakses Kompas versi daring. Maklum, pengakses internet dimasa lalu merupakan orang-orang berpendapatan menengah keatas dan eksekutif yang membutuhkan kecepatan informasi dalam pengambilan keputusan.

Dalam kaitannya dengan kelahiran Kompas.com, ketika mengingat nama Pak JO, yang muncul dalam benak saya tentang yang mengarsiteki transformasi digital Kompas itu, tentu saja Pak JO. Setelah itu, muncul pula portal berita lain yang meramaikan jagat bisnis media daring, semisal Detikcom, Kapanlagi, dan masih banyak yang lainnya.

Ketika bicara soal Kompasiana, saya pun juga mengingat ada tangan dingin Pak JO dalam pembentukannya. Mengapa? Katakanlah, nama Kompasiana bukanlah dirancang oleh Pak JO, melainkan oleh PK Ojong sahabatnya dengan buku tulisannya berjudul sama. Namun tentu ada pemikiran besar dalam diri Pak JO yang baru saya sadari sekarang setelah 9 tahun menjadi penulis di Kompasiana dengan akun ini: Memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk menciptakan konten yang bermanfaat dan mempersatukan bangsa dengan segala kemajemukannya.

Di sisi lain, Pak JO bisa saja berpikiran, bahwa jiwa jurnalisme tidak hanya muncul dari mereka yang memang benar-benar bekerja sebagai wartawan, melainkan bisa muncul dari warga biasa ketika menemukan satu kejadian yang memang menarik dan harus bisa disimak. Banyak kejadian penting di Indonesia yang justru dicover oleh warga terlebih dulu dalam jurnalnya, kemudian disusul oleh wartawan media arus utama, sebut saja Bom Bali 1 dan Bom Bali 2, hingga yang terkesan buat saya yakni upaya penanggulangan aksi terorisme di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 2016.

Pak JO pastinya tahu betul, kemajuan bermedia dengan disrupsi digital bisa saja mengancam keberlangsungan bisnis. Apalagi bisnisnya adalah bisnis yang ia tekuni selama puluhan tahun. Alih-alih kuatir, saya melihat Pak JO justru tidak bersikap pesimistik atau skeptistik. Pak JO malah merangkul kemajuan itu dengan diversifikasi produk digital Kompas Gramedia, yang kini kita bisa ketahui sebagai Grid untuk menjangkau mass market yang belum sempat terjangkau pada awal pembentukannya.

Selain itu, ditangan dingin Pak JO pulalah, jurnalisme warga mendapat perhatian yang serius. Bukan hanya Kompasiana, Kompas Gramedia dibawah kepemimpinannya juga pernah membuat platform kolaboratif bernama K-Report berupa aplikasi BlackBerry. Selain itu, muncul pula Kompasiana Freez dalam versi cetak di Harian Kompas, dimana tulisan saya pernah dua kali dimuat. Yang paling bersejarah, artikel saya tentang kejatuhan media sosial Friendster terpampang dalam Kompasiana Freez edisi pertama. Ini luar biasa! Bukan saya, tetapi Pak JO sebagai mastermind Kompasiana.

Tokoh Inspiratif

Tidak banyak kesan mendalam saya tentang Pak JO sampai pada suatu hari, 9 September 2011, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri Simfoni Semesta Raya, sebuah konser dan seremoni peresmian mengudaranya Kompas TV secara nasional, di Jakarta Convention Center, Senayan. Tanpa saya duga, Pak JO ternyata datang dan duduk di kursi VIP di lantai bawah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline