Lihat ke Halaman Asli

Joshua

Akun arsip

Puisi | Wasiat

Diperbarui: 20 Februari 2019   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dikutip dari FormSwift

Bila dapat kumohon langsung kepada Tuhan
Ingin kutahu hari dan tanggal kematian
Kemudian kutengadahkan wajahku kepadaNya dengan sungkan
Memohon tobat, ampunan dan perkenan
Agar dapat kujumpai firdaus yang dijanjikan

Mati adalah pasti bagi semua yang bernyawa
Tinggallah teka-teki tentang waktu dan caranya
Siapapun tak dapat dengan pasti menerka

Tak ingin aku mati karena sakit
Badanku remuk, mulutku menjerit
Biaya berobat akan terkuras tak sedikit
Belum lagi jika kurang dan harus mengemis pada kerabat pelit
Bukan aku yang menderita, namun kehidupan keluargaku akan sulit

Aku tak ingin nyawaku meregang di rumah sakit atau klinik
Tempat dimana koma bisa saja berubah menjadi titik
Di sana, sembuh pun kadang tak bisa jadi milik
Badan kejang, leher serasa tercekik
Sungguh kasihan bila keluargaku menanggung beban pelik
Berupa beban keuangan yang malah tak membaik
Apalagi jika warisan yang kutinggalkan hanyalah tanah tanpa girik

Kuharap tak mati dalam kecelakaan
Entah itu jatuh dari ketinggian ataupun tabrakan
Lebih mengenaskan lagi bila aku menjadi korban pembunuhan
Kemudian datang paramedis dan petugas kepolisian
Memasang garis pembatas dan menjiplak posturku pada badan jalan
Lalu datang wartawan menjadikan musibahku sebuah pemberitaan
Narasinya: seorang pria tewas mengenaskan
Darahku mengucur deras tak keruan
Sungguh, nahasku akan menjadi beban
Mengundang decak kasihan
Berakhir menjadi tugas kliping anak sekolahan
Ditambah jadi topik gosip jalanan
Hilang seketika citraku yang berkecemerlangan
Prestasi yang berderet berkelimpahan
Akan berganti dengan menyandang predikat korban
Hilanglah aku dari ingatan kerabat dan handai taulan

* * * * *

Andai mati kutemui detik ini
Manunggalkan jasadku dengan bumi
Atau bumihanguskan aku hingga mengabu, dengan api
Kata ibuku, mati itu rasanya seperti tidur dan bermimpi
Bedanya, aku pasti takkan bangun lagi
Menghadapi kenyataan hidup berbekal air dan roti
Dan seringnya menemui orang yang cuma bermain hati
Menuju hidup baru yang sering dianggap fiksi
Menembus lapisan imajinasi

Kalau nafasku berakhir dalam engah
Jangan semayamkan aku dengan megah
Tak perlu aku diinapkan di gedung mewah
Apalagi adanya tangis dan air mata yang membuncah
Percayalah!
Aku masih hidup dan ada dalam ranah
Cukup namaku saja pada batu terpapah
Lupakan segala gelar, sebutan, apalagi irah-irah
Tanpa nama ibu ataupun ayah
Itu semua tak penting bagi mereka yang berjiwa pongah
Mereka yang memamerkan senyum dan tawa diatas musibah
Padahal mereka lupa, suatu hari mereka juga akan menjadi jenazah

* * * * *

Menjelang mangkat
Hendak kutinggalkan anak-anakku beberapa wasiat
Juga mandat
Agar mereka jadi insan yang membawa maslahat
Dimana saja mereka berada, mereka selalu bermanfaat
Selain itu juga syafaat berupa doa dan selawat
Agar mereka bisa tetap jernih dalam dunia yang pekat
Dan supaya aku selamat di akhirat

Bagimu yang kusebut istri
Yang kukawini dengan resmi
Kepadamu kusarankan menikahlah lagi
Agar ada padamu teman tidur dan teman hidup di sisi, jika aku pergi
Carilah bagimu pria yang berluhur budi
Menjadi pendamping yang setia, teladan bagi para pewaris kita: putra dan putri
Temukanlah dia yang tak pernah meloncat ke lain hati
Bukan lelaki yang kepada perempuan bisa ia beli
Demi semata memuaskan birahi
Ia, yang tentu tak lupa, syahwat itu sakral dan suci
Ia yang teguh hati menjaganya dengan murni
Hingga kepadanya kau dapat memberi diri
Melepaskan statusmu di KTP sebagai janda mati
Namun jika demi aku kamu tetap memilih untuk sendiri
Akan kujaga dirimu dari jauh hingga kamu dikebumi
Agar kita yang dipisah oleh mati, kembali menyatu dalam mati

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline