[caption id="attachment_331273" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi (Shutterstock)"][/caption]
Sepekan silam, program "Yuk Keep Smile" asuhan Trans TV telah memasuki babak baru kehancurannya dengan melakukan penghinaan kepada seniman senior Benyamin Sueb (alm.) melalui sketsa komedi yang disiarkan secara langsung. Sadar atau tidak, lelucon yang tercipta akibat aksi hipnotis yang dilakukan kepada sesama pengisi acara membuat kelucuan YKS--singkatan program tersebut, mega. Adegan demi adegan dipertontonkan bagai simile terang antara seniman Betawi tersebut dengan hewan peliharaan. Tak lain tak bukan Benyamin Sueb disamakan dengan anjing.
Kini pemirsa Indonesia--terkhusus mereka yang setia terhadap program-program Trans TV, adem ayem selama sepekan tanpa YKS. Program televisi yang berawal dari siaran dini hari yang nyaris gagal pernah melambungkan Trans TV pada puncak share dan rating versi Nielsen. Namun itu tahun lalu. Selera pemirsa secara dahsyat berganti. Pemirsa yang peka terhadap mutu dan kesantunan konten siaran sekarang muak dan jenuh. Protes muncul di mana-mana. Petisi berseliweran di media sosial dan internet bagai pamflet bertebaran dihela hembusan angin.
Sebagai pemirsa biasa, saya cukup prihatin melihat keadaan Trans TV dua tahun belakangan. Tak bisa disangkal, konflik internal yang pernah terjadi pada tingkat petinggi dan pemodal dua tahun lalu menjadikan stasiun televisi milik pengusaha Chairul Tanjung tersebut stagnan dari segi kepemirsaan. Wishnutama hengkang dari posisi chief executive officer, kemudian berbulan-bulan lamanya punggawa stasiun televisi tersebut diambil alih sang pemodal hingga rapat pemegang saham memutuskan posisi itu diisi Atiek Nur Wahyuni. Apa daya, sentuhan Atiek yang katanya mampu memoles Trans TV belum mampu mendongkrak kepemirsaan dan mengimbanginya dengan share dan rating yang mumpuni.
Setelah YKS mengudara setahun belakangan, nyaris tak ada yang bisa dibanggakan selain menjadi program penghasil pundi-pundi dari pemasukan sponsor juga iklan. Satu program telah menjadi penggerak denyut nadi operasionalnya. Penayangannya pun mengalami kenaikan jam tayang seiring dengan sohornya goyangan ala Caisar. Para kru yang bergerak dalam produksinya kerap diganjar intensif yang lumayan bahkan melebihi gaji. Talenta-talenta acara ini turut merasakan berkah nan melimpah, meski saya tak tahu persis berapakah honor mereka masing-masing setiap kali on air.
Saatnya kita semua belajar dari kejemuan yang ada. Bukan lagi barang baru bila pemirsa sudah apatis terhadap acara-acara televisi bermuatan tak mendidik yang lebih menonjolkan sisi komersialitasnya. Industri televisi sebaiknya memikirkan lagi jika mereka mendewakan iklan dan rating sedangkan kualitas kontennya diabaikan. Saya pernah mengatakan sebelumnya pada sebuah analisis bahwa pemirsa hanya setia kepada tayangannya, bukan stasiun televisinya. Satu tayangan saja bisa menjadi magnet, bahkan racun bagi pemirsa, entah para pelaku industri benar-benar peduli atau tidak. Yang penting iklan mengalir, rating menanjak terus. Mindset inilah yang harus diubah, terutama bagi pelaku industri televisi free to air berskala nasional.
Ada satu opini yang kini berkembang di kalangan pemirsa, bahwa Pemerintah melalui badan pengawas penyiarannya (baca: KPI) seolah tak berdaya menggempur, bahkan menghentikan tayangan yang tak mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan dihentikannya YKS selama jangka waktu tertentu. Saya yakin, bukan tak mungkin YKS akan benar-benar berhenti tayang secara total jika kesalahan yang baru-baru ini dilakukan kembali terulang. Penghentian sementara takkan jadi berarti. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) yang menjadi aturan baku program televisi tak terlalu efektif menekan tayangan-tayangan meresahkan. KPI-lah yang harus mempertegas pengawasannya.
Pelajaran berharga ini berlaku bagi seluruh tim produksi semua stasiun televisi yang bersiaran langsung, terutama talenta-talenta pengisi acara. Karena siaran langsung tak memungkinkan penyensoran, maka berhati-hatilah dalam menyusun skenario, script, adegan atau apapun itu yang mungkin dilihat dan didengar orang. Adegannya, perkataannya, ekspresinya, tindak tanduknya.
Apapun itu, mereka yang menjadi talenta dan kru adalah seniman yang sejatinya menjaga budaya kesantunan negeri sendiri. Bukankah malu jika dunia melihat televisi kita dihiasi konten saling menjelekkan? Boleh jadi itu sudah lumrah, atau mungkin pemirsa sudah lelah.
Pemirsa dan saya membutuhkan acara yang tak bikin meringis, apalagi jadi sadis dengan selera pemirsa yang sporadis. Saya tak ingin lagi mendengar ada juri yang mengumpat dan memaki-maki kontestan dalam ajang pencarian bakat yang tayang secara live. Saya pun tak mau lagi melihat hipnotis yang melebihkan sesuatu hingga berujung penghinaan. Saya tak mau lagi menyaksikan sepasang suami istri buka-bukaan tentang privasi rumah tangga mereka secara terang-terangan, bahkan dalam keadaan tak sadarkan diri. Saya tak mau lagi lihat anak-anak yang masih berseragam sekolah diperkosa, dianiaya, diancam, bahkan terlibat dalam intrik pengancam nyawa. Saya juga enggan menonton acara yang mengesampingkan visi dan misi industri televisi yang sebenarnya mulia. Pemirsa Indonesia pasti beropini senada dengan saya.
Hingga pada suatu ketika saat siaran televisi di Indonesia digital secara paripurna, maka orang-orang akan mencari suaka televisinya sendiri, atau malah enggan menonton televisi karena tak menemukan hiburan yang cocok dari frekuensi radio yang masyarakat miliki melalui negara.