Sangat menarik untuk mengikuti perkembangan dan dinamika politik Indonesia dalam satu minggu terakhir ini. Dengan resminya dua pasangan Capres dan Cawapres yang akan bertarung di pemilihan presiden pada tanggal 9 Juli nanti, dapat dipastikan bahwa satu setengah bulan ke depan kita akan disuguhi tontontan 'berdarah' dari dua kubu capres. Negative campaign, character assassination dan social media hoaxes akan merebak menembus rekor dan standar kewajaran dan kepatutan. Media televisi pun akan menyuguhkan tontonan yang over dosis mengingat polarisasi stasiun televisi yang ada yang kental dengan bias dan partisanship. Di luar tradisi media pemilu kita tersebut, sebetulnya ada peluang lain yang bisa disuguhkan oleh kandidat presiden dalam pemilu kali ini. Kedua calon mengklaim bahwa mereka berbeda satu dan lainnya. Kedua calon dalam pemilu kali ini betul-betul menawarkan kubu yang terpisah penuh. Kubu Prabowo-Hatta yang didukung 6 partai yang secara di atas kertas akan menguasai parlemen, dan kubu Jokowi-JK yang secara selektif memilih kawan koalisinya, tanpa syarat – begitu klaim kubu Jokowi-JK. Berkali-kali kubu Jokowi-JK mengumbar pernyataan bahwa kerjasama antar partai politik dalam pemilu kali ini harus lah tanpa syarat dan tidak transaksional. Dukungan terhadap capres dan cawapres bukan lah didasari oleh berapa jumlah menteri dari partai politik anggota koalisi yang akan diakomodir oleh capres yang didukung sekiranya ia terpilih nanti. Beberapa kalangan termasuk politisi dari Partai Gerindra dan PKS nyata-nyata membantah bahwa tidak akan pernah terjadi seuatu kerja sama tanpa syarat. dengan kata lain, mereka seakan mengisyaratkan bahwa politik transaksional sudah menjadi tradisi dari pemilu ke pemilu sejak pemilu 1999 dan merupakan sesuatu hal yang wajar. Yang terjadi kemudian adalah dua kubu yang benar-benar terbelah. Kubu koalisi tambun Prabowo-Hatta yang jelas-jelas mengakomodasi kepentingan power sharing dari partai-partai pendukungnya, apalagi ditambah dengan drama injury time yang disuguhkan Partai Golkar, dan kubu Jokowi-JK yang secara terus terang menolak partai-partai politik yang ingin bergabung dengan syarat power sharing. Satu hal yang bisa membedakan kedua kubu adalah mengenai konsep kabinet yang akan dibentuk oleh masing-masing capres sekiranya mereka terpilih. Pemilih sudah bosan mendengar istilah ‘kabinet kerja’, ‘kabinet kepentingan bangsa’, ‘kabinet persatuan’ dan lain lainnya mengigat ujung-ujung nya, anggota kabinet akan terbentuk dari hasil bagi-bagi kue dari peserta koalisi pendukung capres. Masih ingat berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seorang SBY untuk menyusun kabinetnya di pemilu 2004 dan 2009? Dan berapa kali kita kecewa terhadap pilihan yang bersifat akomodatif dan politis ketimbang didasari professionalisme? Sekarang saatnya capres dan cawapres harus menerapkan ‘day one’ approach. Mereka harus menempatkan diri mereka di masa kampanye bahwa seolah-olah mereka sudah terpilih dan sudah menjalani hari pertama nya sebagai presiden dan wakil presiden. Dengan approach ini, independensi capres dan cawapres akan dapat diuji oleh pemilih. Terutama mengenai kabinet, capres dan cawapres seharusnya secara detail sudah dalam posisi untuk menetapkan konsep kabinet nya. Berapa banyak departmen yang akan dibentuk, berapa banyak layer yang akan ada dalam satu departemen. Bahkan, berapa departemen yang dapat dilebur, bahkan dibubarkan. Berapa kementrian yang akan didowngrade ke level direktorat dan berapa direktorat yang bisa diupgrade ke level kementerian dan seterusnya. Contoh yang riil adalah Departemen Agama misalnya. Misalnya seorang capres dapat saja bernjanji untuk membubarkan Departemen Agama dan menggantinya dengan Kementerian Urusan Haji. Direktorat Jenderal Pajak akan diupgrade menjadi Departemen Pajak dan Pendapatan Negara, atau departmen pemuda olah raga yang akan dilebur ke kementrian kesejahteraan rakyat. Akan sangat menarik misalnya untuk menentukan apakah jabatan wakil menteri akan ditiadakan mengingat sifatnya yang hanya menjadi ‘hadiah hiburan’ buat kader partai pendukung. Semua di atas akan lebih menjual apabila disajikan dengan data penghematan biaya anggaran yang dapat dicapai dengan efisiensi dari sistim kabinet tersebut. Saya melihat Jokowi-JK harusnya dapat lebih leluasa menjual konsep kabinet nya mengingat bahwa pasangan ini mengklaim tidak akan dipengaruhi oleh partai-partai pendukungnya dalam menetapkan konsep kabinet dan pemilihan menteri-menterinya. Kubu Prabowo-Hatta mungkin akan sedikit kesulitan. Sangat wajar mengingat saat ini koalisi besar partai-partai politik yang mendukung Prabowo-Hatta sedang dalam masa bulan madu. Belum terlihat partai mana meminta posisi menteri apa. Ditambah lagi terkuaknya deal-deal politik Prabowo seperti tawaran posisi menteri utama untuk Aburizal Bakrie. Jokowi-JK harus mencuri start dengan menyeleksi calon-calon menteri mereka sekarang dan menjualnya sekarang juga, bukan nanti. Buktikan bahwa Jokowi-JK benar-benar independen dalam menentukan menteri-menteri mereka sehingga pemilih pun tak ragu dalam menyatakan pilihannya di tanggal 9 Juli nanti. Akan menarik untuk melihat apakah ada nama Puan Maharani di daftar kabinet bayangan Jokowi-JK. Apakah Jokowi-JK berani mengklaim bahwa mereka akan mengangkat Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan, misalnya.
Sebaliknya, akan sangat menarik untuk mengetahui berapa menteri koordinasi yang akan diangkat oleh Prabowo-Hatta dan berapa jumlah departemen-departemen baru, wakil-wakil menteri yang akan mereka buat demi mengakomodasi janji-janji power sharing kepada partai-partai pendukungnya. Kabinet bayangan akan menjadi penentu. Kabinet bayangan dan orang-orang yang akan dipilih menjadi menteri akan menjadi faktor pembeda yang secara telak membuat satu capres unggul terhadap capres lainnya. Berani kah mereka kali ini? Kita tunggu. Dubai, 20 May 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H