Para orang paruh baya besarung dan berpeci itu duduk bersila, memenuhi pinggiran karpet-karpet warna hijau yang mengisi ruangan. Deret piring berisikan makanan dan buah-buahan, hadir di tengah mereka, namun tidak satupun dari mereka tampak riang dengan kemewahan itu. Sebaliknya, mereka tampak murung dan beberapa dari mereka tidak berhenti bicara tentang kebaikan pemilik rumah, yang 100 hari lalu baru berpulang ke Rahmatullah.
Sholat dan dzikir yang telah selesai hari itu tidak menghentikan mereka untuk mengenang jasa rekan yang tidak akan mereka sangka meninggalkan mereka. Dan di sela-sela acara itu, istri dari pemilik acara tersebut tidak bisa berhenti memikirkan kelanjutan nasibnya, terutama bagaimana cara dia harus membagikan peninggalan suami tercintanya itu pada anak-anaknya di luar negeri dan belum kembali ke Indonesia.
Kematian adalah awal baru bagi orang yang percaya, serta dapat menjadi awal masalah bagi yang ditinggalkannya. Acap kali, kematian, terutama yang mendadak, tidak hanya memberikan cedera dan kejutan, namun juga meninggalkan tanggung jawab yang mungkin tidak diketahui oleh keluarga tersebut. Secara Islami sendiri, KHI telah mengatur pembagian waris dan yang akan menjadi pemaparan kali ini.
DEFINISI
Berdasarkan KHI, Hukum Kewarisan pada intinya hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, sekaligus menentukan subjek dan besaran tirkah yang diterima pewaris yang mendapatkan.
Secara sangat sederhana, waris dilakukan dari Pewaris kepada Ahli Waris, dengan cara pemberian Wasiat atau Hibah, dimana yang diwariskan tersebut berupa Harta Peninggalan dan Harta Warisan. Perbedaan Harta Peninggalan dan Harta Warisan adalah, Harta Peninggalan merupakan keseluruhan harta yang dimiliki Pewaris, sementara Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah harta bersama setelah digunakan untuk keperluan.
Dari hal ini, cukup jelas bahwa pewarisan hanya dapat dilakukan ketika pemberi warisan itu mati. Namun yang dimaksud mati dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi dua. Yaitu mati karena kematian, atau mati karena dianggap demikian. Mati dianggap demikian juga dibagi menjadi dua jenis, yaitu ghaib dan mafqud.
Mati ghaib dan mati mafqud sama-sama merujuk pada kondisi seseorang tidak diketahui kabar beritanya dalam jangka waktu tertentu, namun mati ghaib mengindikasikan orang tersebut masih hidup, sementara mati mafqud merujuk pada praduga orang tersebut sudah meninggal dunia. Takaran yang digunakan untuk menentukan mati karena dianggap demikian ini adalah usia dan territorial tempat orang itu terakhir berada.
AHLI WARIS
Ahli Waris adalah pihak yang berhak mendapatkan waris. Ahli Waris terhalang menjadi ahli waris bila dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat Pewaris, serta melakukan fitnah bahwa Pewaris melakukan kejahatan dengan hukum 5 tahun penjara. Secara konsep, ahli waris juga tidak bisa jadi ahli waris ketika murtad, pun kembali pada musyawarah keluarga itu sendiri.
Kemudian, KHI secara konkret mengatakan bahwa yang dapat jadi Ahli Waris adalah golongan laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan kandung dan hubungan semenda (paman dan saudara Perempuan) yang adalah hubungan darah (nasabiyah), dan hubungan karena karena perkawinan yaitu janda atau duda (sababiyah).