Lihat ke Halaman Asli

Dokterku Sayang, Dokterku Malang

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="275" caption="foto :www.top20lists.com "][/caption]

Tinggal di pinggiran Jakarta, ketika pindah kemari membuat akses layanan rumah sakit dan dokter kami sangatlah terbatas. Kalau mau dokter bintang lima adanya di Jakarta dengan biaya sekian juta. Belum bolak - baliknya. Akhirnya kami menemukan ginekolog yang cocok disebuah rumah sakit besar pinggiran Jakarta ini. Informasi dokter sudah sangat cetar - membahana. Kalau dokter kandungan sewilayah anu, sebut saja dokter Herman, nama yang paling top. Ibu - ibu semua tahu, itu belasan tahun lalu.

Judulnya mau melahirkan dan pertama kali punya anak, kami serius mencari dokter yang handal. takutlah kalau ada masalah atau pelayanan kurang prima, sindrom penduduk urban. Padahal kalau dipikir jaman bahuela semua ibu - ibu melahirkan ya melalui bidan saja. Dokter Herman ini Top Markotop, katanya lulusan Jerman (belajar kebidanan saja di Jerman?). Pasiennya ngantri, seolah beli martabak. Saya paling stress ke rumah sakit dan duduk diam dua - tiga jam hanya menunggu giliran ketemu dokter Herman (ngapain coba? Lama bener...). Mana ketemunya paling sepuluh - dua puluh menit! Tapi itulah proses ngantre ibu - ibu hamil sindrom urban di Rumah Sakit swasta.

Saya mikir, aduh kaya apa suksesnya dokter Herman ini? Orangnya juga baik, cekatan, pandai, intelek dan perlengkapannya paling modern kala itu. Saya mikir siapa tahu dokter bisa melakukan sulap, saya dapat melahirkan melalui meludah atau mencet jerawat, bayinya nungul. Sayangnya tidak! Dengan gagasan ilmu kedokteran, tersebutlah bahwa saya mengalami pelvic contaction (panggul sempit?). Perbandingan antara kepala bayi dan panggul ibu, kepala bayinya lebih besar. Saya sudah jalan kaki berkilo - meter, ngepel lantai muter - muter sekeliling rumah. Tidak ada tanda kontraksi, mules atau yang lainnya. Sementara kalau terlalu lama dalam kandungan bisa jadi bayi keracunan air ketuban yang kian keruh. Katanya begitu? Akhirnya saya melakukan operasi caesar untuk melahirkan. Dokter Herman yang melakukan.

Saya sering heran, dokter Herman begitu sibuk. Bagaimana membagi waktunya? Kadang hingga jam tiga siang dokter masih periksa pasien. Sampe perutnya bunyi kruyuk - kruyuk dan saya dengar. Belakangan saya dengar juga dokter Herman terserang penyakit maag akut. Karena pasien yang membludak itu! Semua ibu - ibu maunya dengan dokter Herman, dokter lain seolah jadi cadangan 1 atau 2. Waduh! Pokoknya saya yakin dokter Herman saat itu sedang on the top of the world. Yang paling dihargai dan disegani reputasinya diseputaran wilayah kami.

Tadi, saya melihat dokter Herman berjalan linglung sendiri di sebuah pusat perbelanjaan. Saya sedang berjalan - jalan dengan Lola, bayi yang ditolong olehnya ketika lahir. Tapi dokter Herman sudah tak mengenali kami sama sekali. Penampilannya pun berubah seratus delapan puluh derajad. Rambutnya memutih keseluruhan, terlihat tua. Saya ingat dulu jas dokternya sangat kemilau, menggunakan bahan kain yang terbaik. Tadi ia mengenakan kemeja garis lengan pendek yang biasa dibeli kodian di pasar. Sandalnya butut dan kumal. Bahkan secara keseluruhan penampilannya seperti tukang mie tek - tek keliling, tidak seperti dokter populer yang kami kenal.

Sedihlah, melihat perputaran roda nasib begitu kejam terhadap dokter Herman! Kejadian pastinya kami tak tahu. Hanya saja sempat tersiar kabar kalau beliau mendua-hati dengan salah satu perawatnya (gulp!). Kemudian dokter Herman juga entah pindah, entar disuruh pindah, dari rumah sakit mewah ternama yang membesarkan namanya. Sejak itu prakteknya seperti tergelincir, menukik tajam dari tebing tertinggi. Ia berpisah dari istri dan anak - anaknya dari pernikahan pertama. Sekarang entah tinggal dengan siapa. Kami ingin menyapa, namun ia berlalu begitu saja dan hilang disebuah tikungan. Life oh life,.. Masih terkenang antrian martabak, hanya demi periksa kehamilan. Sekarang? Duhh sedihnya,..Life oh life..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline