Lihat ke Halaman Asli

Kebebasan Pendidikan yang Dikerangkeng di Era Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Ivan Illich

Diperbarui: 6 Januari 2021   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Masa pandemi COVID-19 membuat tatanan kehidupan di seluruh dunia berubah, tak terkecuali di Indonesia. Pandemi ini membuat sektor-sektor kehidupan baik perekonomian, pariwisata bahkan Pendidikan ditutup. Hal ini terjadi karena penyebaran COVID-19 yang begitu cepat, pada 17 Maret 2020 pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengambil langkah untuk menutup sekolah serta kampus agar tidak timbul cluster COVID yang baru. 

Selama masa pandemi ini kegiatan pendidikan dilakukan melalui Pembelajaran Jarak Jauh atau biasa disebut PJJ. Dalam prosesnya Pembelajaran Jarak Jauh ini dinilai banyak memiliki kekurangan seperti adanya perangkat siswa yang kurang memadai, pemberian bantuan kuota yang tidak merata, kondisi setiap rumah pendidik dan peserta didik yang berbeda, mungkin ada sebagian yang kurang memadai sehingga sulit menerima pelajaran yang diajarkan, bahkan banyaknya tugas yang membuat siswa stres mengerjakan tugas.

Tidak hanya itu, Pembelajaran Jarak Jauh ini juga dianggap tergesa-gesa karena tidak melihat lebih jauh kondisi sarana dan prasarana serta sumber daya manusia bahkan kesiapan pembelajaran jarak jauh di daerah-daerah terbelakang dan tertinggal. 

Tulisan ini kurang lebih akan membahas tentang kebebasan peserta didik dalam menjalankan pendidikan di masa pandemi ini dan kaitannya dengan humanisasi pendidikan yang dikaji menggunakan perspektif Ivan Illich dengan sudut pandang yang berbeda.

Pembelajaran Jarak Jauh yang Menimbulkan Berbagai Permasalahan

Coronavirus Disease 19 atau yang biasa dikenal dengan sebutan COVID-19 ini menimbulkan tatanan kehidupan yang berubah, tidak terkecuali dalam ranah pendidikan. Menurut data yang didapat dari UNESCO pada bulan Oktober 2020, terdapat 1,6 miliyar pelajar terkena dampak pandemi, dan sekitar 45 jutanya merupakan pelajar Indonesia. 

Alhasil sekolah di sekitar 144 negara di seluruh dunia terpaksa ditutup, salah satunya merupakan Indonesia. Hal ini terjadi karena penyebaran COVID yang begitu cepat. Pada 17 Maret 2020 pemerintah terkhusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengambil langkah untuk menutup sekolah serta kampus agar tidak timbul cluster COVID baru. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengeluarkan beberapa surat edaran terkait pencegahan dan penanganan COVID-19 yakni Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19) yang antara lain memuat arahan tentang proses belajar dari rumah sebagai upaya menghindari penyebaran virus COVID-19 kepada peserta didik dan tenaga pendidik, karena sekolah merupakan salah satu sarana masyarakat untuk berkumpul. 

Dalam prosesnya Pembelajaran Jarak Jauh ini dinilai memiliki banyak kekurangan dan meninimbulkan permasalahan, seperti perangkat siswa yang kurang memadai, pemberian bantuan kuota yang tidak merata, serta tidak terserapnya materi pembelajaran secara maksimal yang dikarenakan kondisi rumah yang tidak mendukung Pembelajaran Jarak Jauh. 

Seperti yang disampaikan oleh Jumeri dalam Hari Aksara Internasional melalui siaran YouTube Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) pada Selasa, 8 September 2020 "Kita tahu anak-anak kita, tidak semua hidup di lingkungan rumah yang menyenangkan, banyak anak-anak kita ada di rumah-rumah di situasi yang tidak menguntungkan peserta didik, saya mengkhawatirkan, sangat berbahaya dan tidak nyaman bagi peserta didik" (dilansir medcom.co.id). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline