Josh Chen – Global Citizen
Serempak di berbagai media dan sosial media bertaburan pemberitaan seorang “pahlawan” bernama Elanto Wijoyono yang berasal dari Sleman, karena dengan “gagah berani” menghadang rombongan motor gede (moge) yang sedang konvoi dalam rangka satu acara di Yogyakarta; karena dianggap melanggar aturan lalulintas. Berbagai tanggapan dari polisi, pengamat sosial dan komentar-komentar dari HDCI (Harley Davidson Club Indonesia) bertaburan.
Pada umumnya tanggapannya memuji-muji, menyanjung dan tak sedikit yang lebay seakan-akan tindakan tersebut secercah harapan dan setitik oase di tengah kisruhnya lalulintas di Indonesia. Malah ada yang memelopori penandatanganan petisi di situs change.org dengan ajakan yang tak kalah heroiknya: “Kelompok Pemotor Harley Davidson Patuhi Rambu Lalu Lintas!”. Mungkin ini karena euforia perayaan 17 Agustus, 70 Tahun Republik Indonesia, jadi serentak bermunculan para “pahlawan”.
Lah? Tidak salah? Apakah memang masyarakat Indonesia sudah amnesia serempak? Bagaimana dengan tingkah polah, sepak terjang para pengendara sepeda motor setiap harinya? Dalam banyak hal, para pengendara motor ini jauh lebih parah daripada pengendara moge. Bagaimana dengan para pengendara motor yang melakukan kebiadaban berlalulintas setiap hari di jalan raya seperti di bawah ini:
Melawan arus dan nangkring di trotoar yang sejatinya disediakan untuk pejalan kaki, sudah jadi pemandangan keseharian di seluruh jalanan Jabodetabek. Dengan segala macam pembenarannya, bahwa pengendara sepeda motor sudah cukup ‘menderita’ dan ‘sengsara’ harus menyusuri jalanan Jabodetabek dalam perjuangan hidup mencari sesuap nasi setiap harinya seakan jadi kredo yang ‘disepakati’ secara luas. Dengan pembenaran tersebut, jadi pengesahan sepak terjang para pengendara sepeda motor untuk melawan arus di manapun dirasa perlu dan menerabas trotoar untuk menyingkat waktu dan menerobos kemacetan sehari-hari. Semua ini dipermaklumkan secara serempak dan menjadi aklamasi nasional, termasuk para penegak hukum yang melakukan pembiaran terang-terangan.
Beberapa kredo untuk pengendara kendaraan bermotor di jalanan:
Untuk motor:
- Jangan pernah takut dengan mobil, truk, container, tronton, dsb. Jika terjadi tabrakan, srempetan, senggolan, serudukan, apapun itu, sepeda motor tak pernah salah (biar mati sekalipun).
- Jika melihat ada mobil menyeberang atau memberikan lampu sein tanda berbelok, gas’lah motor lebih cepat untuk sebisa mungkin menghalangi, memotong atau melaju di depannya sebelum berbelok.
- (Khusus untuk Medan). Traffic light hanyalah asesoris. Hijau jalan terus, kuning putar gas, merah tengok kanan kiri. Tidak ada istilah stop, hanya buang-buang waktu.
- Kolong fly-over, kolong jalan tol, kolong jembatan penyeberangan adalah tempat berteduh jika hujan, peduli amat dengan pengendara lain, sudah mending disisakan satu jalur.
- Trotoar adalah jalur tambahan dan bukan untuk pejalan kaki. Kalau ada pejalan kaki, klakson kencang-kencang, jika tak mau minggir, makilah, pelototilah bila perlu senggollah.
Untuk mobil (dan truk, bus, angkot):
- Jalur di jalan tol tak ada artinya. Kalau ingin melaju di jalur paling kanan dengan kecepatan 30-40 km/jam sah-sah saja.
- Kalau ada mobil di belakang menglakson atau memberikan tanda lampu ingin mendahului, peduli amat, itu urusan dia mencari jalur yang kosong untuk mendahului.
- Jika terus-terusan menglakson, makilah si pengendara.
- Bus, truk boleh melaju di jalur mana saja di jalan tol. Kendaraan lebih kecil carilah sendiri jalurmu.
- Bahu jalan adalah jalur tambahan, bukan jalur darurat.
- Kecepatan tanggung, pelan tidak, kencang tidak, kiri tidak, kanan tidak, suka-suka gue lah, mobil juga mobilku.
- Setiap ruas jalan adalah perhentian angkot untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
- Ngetem penumpang sah-sah saja mau 2, 3, 4 lapis ke tengah jalan, yang penting masih tersisa satu jalur atau ¾ jalur untuk pengendara lain. Itu semua demi mengejar setoran dan sesuap nasi.
Setelah sedikit memahami kredo pengendara di atas, marilah pelajari lebih lanjut ilmu-ilmu di bawah ini: