Jagat maya dihebohkan dengan beragam tanggapan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim tentang Penghapusan Pramuka (25/3/24). Beragam komentar terhadap kebijakan tersebut. Ciutan yang mengandung kebencian subyektif marak dijumpai di medsos. Nitizen aktif berkomentar baik yang beradab atau tidak. “Buat kebijakan sekerepnya dewe, membuat kebijakan semaunya sendiri” siapa dia? telah mewarnai beragam komentar yang dituliskan dilaman Instagram, Twitter, sejak dikeluarkan kebijakan Kemdikbudristek tentang Pramuka Bukan Eskul Wajib di Permendikbudristek No.12 Tahun 2024, di tetapkan oleh Nadiem Makarim, Tanggal 24 Maret 2024.
Tanggapan emosional kompulsif sesorang mengiring opini publik dalam memerangi kebijakan tersebut. Penilaian nitizen secara subyektif sungguh ironis. Mengapa menyerang pribadi yang mengesahkan kebijakan tersebut? Seharusnya perlu diserang adalah isi dari kebijakan tersebut, apakah Pramuka yang jalankan di lembaga pendidikan Dasar dan Menengah sungguh-sungguh dihapuskan atau tidak?
Komplusifitas terhadap opini dan pengalaman pribadi yang “buruk” terhadap kegiatan pramuka yang dialami oleh seseorang menjadi sebuah wacana aduh argument di media sosial. Pasalnya argumen yang diberikan bukan memberikan sebuah solusi, tetapi apa yang dituliskan di medsos menciptakan masa untuk mendukung argumentasi dan pengalaman yang sama. Tujuannya adalah melemahkan persona-Nadiem Makarim.
Penilaian subyektif tidak memberikan beragam gagasan kredibel, karena secara kebahasaan yang dalam bentuk komentar di media sosial condong menyerang pribadi seseorang. Berbeda dengan sebuah kebajikan kita mengritik kebijakan yang tertuang dalam Permendikbutristek No 12 Tahun 2024. Apakah kebijakan yang dikeluarkan bertolak belakang dengan nilai kepermukaan selama ini? Atau adanya ambiguitas terhadap ulasan sebuah kebijakan yang disahkan?
Belajar menilik secara teliti adalah sebuah tantangan masyarakat di era disrupsi informasi dewasa ini. Setiap orang berani menyampaikan gagasannya tanpa melihat esensi dan tujuan dari sebuah komentar yang diulas di media sosial. Aksi demikian marak terjadi secara familiar dalam menanggapi sebuah masalah “yang viral”.
Bila ditilik secara psikologi sosial, kata dan ucapan yang diungkapkan merupakan bentuk kehadiran diri kita dalam menanggapi persoalan tersebut. ada tolok ukur, sikap mawas diri, ketika hendak menuliskan sesuatu di media sosial. Ada batasan berbahasa tertulis di media sosial. Bila kita tidak selektif, maka apa yang ditulis menjadi penilaian publik terhadap kepribadian penulis. Misalnya, “asal nulis aja apa yang ada di pikiran”, tanpa pertimbangan etika dan etiket.
Hal ini dapat diindikasikan bahwa daya tarik masyarakat untuk membicarakan hal yang esensial terhadap suatu persoalan tidak banyak orang memaknainya saat ini. Bosan untuk memikirkan hal yang ribet, buang waktu, tenaga, pikiran menjadi ancaman hilangnya idealisme masyarakat untuk menguji sebuah kebenaran. Bila idealisme disandingkan dengan empirisme, tentu pilihan yang tepat bagi kaum empirisme adalah berpikir pragmatis. Empirisme selalu membendung seseorang untuk menilai dari sisi aksiologis, materialistik. Bukan pada sebuah tujuan akhir dari sebuah nilai esensial yang ada dibalik tujuan tersebut.
Bila ditilik dari argumentasi nitizen di media sosial, tindakan “brutal” terus terjadi untuk menilai kebijakan yang dilakukan oleh Kemdikbudristek. Ada penggunaan kata, bahasa yang miris, menyinggung integritas seseorang. “Ini Menteri suruh balik urus gojek yang terus merugi…kok gak dipecat-pecat ya pakde. Kebijakannya dari awal jabat gak ada yang benar, ujar gading_roof_top”, dilaman Instagram (6/4/24).
Kebrutalan berbahasa menjadi momok yang harus diperhatikan secara intens untuk berpendapat di media sosial. Kebajikan berkomunikasi secara tertulis di media sosial butuh ketelitian terhadap kata dan bahasa yang digunakan. Kerapkali ketika berpendapat di media sosial, argumentasi seserang “bukan memberikan solusi tetapi memberikan peluang untuk menciptakan masalah baru”.
Sikap selektif adalah tujuan utama ketika kita berada dimana pun, termasuk bagaimana kita memberikan argumentasi di media sosial. Komunikasi asertif harus dibangun dengan kesadaran utuh, bahwa apa pun kata dan bahasa yang ditulis dimedia sosial tidak hanya dikonsumsi satu pihak. Setiap kata yang diungkapkan secara verbal, ditulis adalah wujud dari adab kepribadian seseorang. Tiliklah setiap kata yang ditulis, apakah hal yang ditulis memberikan dampak positif bagi banyak orang atau tidak?
Titik persoalan yang dikaji adalah bukan penghapusan pramuka, tetapi pramuka diahlikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler tidak wajib. Pramuka tetap wajib ada dan laksanakan di setiap sekolah. Namun, kegiatan pramuka tidak mewajibkan siswa memilih. Artinya kemerdekaan bagi setiap siswa untuk memilih atau tidak menjadi tolok ukur perhatian Nadeim Makarim.