Marah Berujung Penyesalan
Di suatu sore, kala ribuan air hujan yang masing-masingnya menampar genteng-genteng rumah penduduk. Terlihat seorang remaja 18 tahun duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi dan roti bantal yang dapat menghangatkan tubuh di tengah serangan hujan yang hebat itu.
Sruput…dan Nyam…suara yang terus terdengar sambil melawan gemericik suara hujan. Tiba-tiba, telinung-telinung…telin-telinung… Nada dering handphonenya berbunyi dengan kerasnya hingga mengalahkan Sang Hujan.
“Halo, Jo. Jadi, gak? Katanya mabar? Dah, ditungguin nih. Cepetan.”
Tut…telepon itu langsung dimatikan oleh sang penelepon.
“Ahhhh, sialan kau, Gi. Lagi enak-enak nyantai juga.”
Tanpa berlama-lama, Jojo langsung membereskan segala perkara yang ada dan minta maaf pada Sang Hujan, karena harus berpaling darinya.
Hawa kamar yang dingin dengan situasi kamar yang seperti sarang penyamun, itulah kamar yang menemani Jojo selama merantau. Jojo menghampiri meja belajarnya yang penuh dengan buku, alat elektronik, bahkan laba-laba pun ikut menumpang di sana. Debu yang berterbangan ikut untuk meramaikan suasana.
“Hacthu! Ah, nanlah kubersihkan kamar yang berdebu ini.”
Dia duduk di kursi yang lumayan memanjakan bokongnya. Dia menyiapkan laptop, handphone, charger, headshet, dan 2 botol minuman sebagai penyegar dan penghibur di kala haus menyerang.
“Tes, tes. Halo-halo?” Sapanya