Lihat ke Halaman Asli

Jose Collins

Social Media Specialist

Love, Sex, and Dating di Kalangan anak muda Gen'Z : Menavigasi Hubungan di Era Digital

Diperbarui: 30 Desember 2024   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto (I.stock, by genty images)


Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh dalam dunia yang sangat terhubung melalui teknologi dan media sosial. Transformasi digital ini tidak hanya mempengaruhi cara mereka berinteraksi, tetapi juga bagaimana mereka menjalani hubungan romantis, mengeksplorasi seksualitas, dan memahami kencan. Artikel ini menggabungkan perspektif fenomenologi dan teori komunikasi untuk menggali dinamika love, sex, and dating di kalangan Gen Z, serta tantangan dan peluang yang muncul dalam era digital.

1. Perubahan Paradigma dalam Kencan: Dari Tatap Muka ke Digital

Bagi banyak anak muda Gen Z, kencan bukan lagi soal bertemu langsung di kedai kopi atau tempat umum. Dengan kemajuan aplikasi kencan seperti Tinder, Bumble, dan platform media sosial seperti Instagram dan TikTok, mereka dapat terhubung dengan orang baru dalam hitungan detik. Akses mudah ke teknologi ini memungkinkan mereka memilih pasangan berdasarkan kriteria fisik, minat, atau status sosial yang diproyeksikan di profil digital mereka.

Namun, seperti yang dikemukakan oleh teori komunikasi antarpribadi, hubungan yang sehat memerlukan komunikasi yang mendalam dan tatap muka. Walaupun Gen Z sangat terbiasa dengan komunikasi melalui pesan teks atau chat, kehilangan elemen non-verbal seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan intonasi suara dapat menurunkan kualitas komunikasi, yang berpotensi menciptakan kesalahpahaman. Fenomena ghosting---ketika seseorang tiba-tiba berhenti berkomunikasi tanpa penjelasan---menjadi lebih umum, mencerminkan kurangnya komitmen emosional yang sering kali terjadi dalam hubungan yang dijalin secara digital.

Selain itu, fenomena ini juga dapat dipahami dengan teori konstruktivisme dalam komunikasi, yang menunjukkan bahwa identitas diri seseorang sering kali dibentuk oleh interaksi sosial dan citra yang mereka bangun di dunia maya. Media sosial memungkinkan Gen Z untuk menciptakan persona ideal yang sering kali tidak mencerminkan realitas, yang mengarah pada ekspektasi yang tidak realistis dalam hubungan romantis.

2. Seksualitas: Keterbukaan dan Tantangan Baru

Gen Z menunjukkan tingkat keterbukaan yang lebih tinggi dalam hal seksualitas dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih menerima keberagaman orientasi seksual, identitas gender, serta hubungan non-tradisional. Namun, kebebasan seksual ini juga membawa tantangan besar, terutama terkait dengan pemahaman seksualitas yang sehat.

Menurut teori Interaksi Simbolik, makna tentang seksualitas dibentuk melalui interaksi sosial dan pengalaman individu. Meskipun mereka terbuka untuk berbicara tentang seksualitas, banyak Gen Z yang memperoleh informasi tentang seks dari internet atau teman sebaya, yang sering kali tidak akurat atau bahkan keliru. Pornografi yang mudah diakses dapat menciptakan gambaran yang keliru tentang seks, menjadikannya lebih sebagai hiburan ketimbang bagian dari hubungan intim yang sehat dan penuh rasa hormat.

Selain itu, budaya kencan yang lebih kasual dan bebas yang berkembang di aplikasi seperti Tinder dan Bumble mendorong pandangan bahwa seks dapat dipisahkan dari komitmen emosional yang mendalam. Hal ini menambah risiko hubungan yang dangkal dan dapat berpotensi menyebabkan masalah kesehatan fisik, seperti penyakit menular seksual (PMS), serta gangguan kesehatan mental terkait seksualitas.

3. Membangun Hubungan Sehat di Tengah Digitalisasi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline