Keputusan novelis Tere Liye untuk menghentikan perpanjangan kontrak penerbitan karyanya dengan dua penerbit gadang sekaliber Republika Penerbit dan Gramedia Pustaka Utama menjadi viral di media sosial. Aksi beliau tersebut sebagai wujud protes kepada pemerintah atas perlakuan pajak terhadap profesi penulis yang dirasakan tidak adil dan memberatkan.
Protes Tere tak hanya berhasil menarik perhatian publik namun juga menyentak Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan RI. Sehari setelah Tere menuliskan protesnya di laman Facebooknya, Kementerian Keuangan RI merilis siaran pers bernomor 29/2017 Tanggal 6 September 2017 tentang Klarifikasi terkait Pemberitaan Mengenai Pajak Penghasilan Terhadap Profesi Penulis.
Ringkasnya siaran pers tersebut menjelaskan bahwa pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber kena pajak telah sesuai peraturan dan menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan. Pada salah satu poin, Ditjen Pajak membuka diri untuk menerima masukan demi perbaikan sistem perpajakan Indonesia serta menginformasikan bahwa saat ini Pemerintah sedang melaksanakan program Reformasi Perpajakan untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia, termasuk reformasi di bidang peraturan dan regulasi perpajakan.
Sebagai seorang pegawai negeri, saya sangat memahami bahwasanya pajak merupakan komponen penting dalam pembangunan negara yang kita cintai ini. Keberhasilan pembangunan merupakan cerminan kepedulian warga masyarakat dalam hal pembayaran pajak. Pajak adalah ujung tombak pembangunan sebuah bangsa.
Di sisi lain, selaku seorang penulis, saya turut merasakan mirisnya menjadi penulis sebagaimana yang dirasakan Bung Tere. Saya contohkan, dari sebuah Novel saya berjudul Sang Abdi Praja yang di banderol Rp 58.000,- oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, nilai ide dan kerja penulisannya hanya 10%, artinya saya mendapatkan royalti senilai Rp 5.800,-. Dari nilai royalti ini, lalu dipotong PPh pasal 23 oleh Negara sebesar 15%. Alhasil alhamdulillahRp 4.930,- yang saya peroleh.
Dari pembagian royalti yang minim dan pemotongan pajak yang cukup besar tersebut dapat dikatakan betapa langkanya manusia di Indonesia saat ini yang menggantung hidup hanya dari aktifitas menulis buku. Padahal penulis buku bukanlah pekerjaan mudah karena memerlukan perenungan ide-ide kreatif, pencarian bahan-bahan literatur, observasi lapangan, riset, keterampilan khusus dalam merangkai kata dan merajut kalimat sehingga buku yang diterbitkan dapat dinikmati dan menambah pengetahuan pembaca. Tanpa adanya penulis maka tidak akan ada pembaca. Tanpa membaca maka tidak ada peradapan di dunia ini.
Negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Kanada, Rusia, Jepang, Australia dan Selandia Baru dikenal lebih menghargai budaya literasi ini. Diyakini, pesatnya perkembangan dunia baca-tulis ini berbanding lurus pula dengan pesatnya kemajuan pembangunan negara-negara tersebut. Perpustakaan yang memadai, kebiasaan gemar membaca masyarakatnya, kualitas buku dan tulisan yang bercita rasa tinggi tentu semua tidak terlepas dari regulasi negara-negara tersebut yang menghadirkan iklim sejuk bagi tumbuh kembangnya profesi penulis buku. Oleh sebab itu, tak jarang kita dengar penulis luar negeri dapat menghidupi dirinya dan keluarga hanya dari pekerjaannya sebagai penulis. Bahkan walaupun sang penulis telah meninggal, namun anak-cucunya dapat terus hidup dengan hanya mengandalkan royalti dari buku-buku sang penulis almarhum.
Penulis-penulis Indonesia tempo dulu, saya pikir juga lebih sejahtera dari penulis era sekarang. Sebut saja misalnya, Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Buya Hamka yang meskipun menjadi tahanan politik pemerintah Orde Lama 1964-1966 namun masih dapat menghidupi keluarganya hanya dari royalti buku-buku yang ditulisnya. Banyak lagi tokoh pergerakan kemerdekaan republik ini yang mampu menghidupi diri dan keluarganya bahkan membiayai perjuangan kemerdekaan dari hasil tulisannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisyahbana, Sutan Syahrir, Muhammad Yamin dan M Natsir.
Bila dicermati, sebenarnya lesunya perkembangan dunia perbukuan di Indonesia saat ini telah melanda mulai dari hulu hingga hilir. Di bagian hulu, menekuni profesi penulis menjadi kurang menjanjikan karena pajak yang tinggi, royalti yang rendah, dan kurangnya minat baca masyarakat. Pada bagian hilir, para pembeli buku juga dikenakan pajak PPN terhadap buku yang dibelinya sehingga buku pun menjadi semakin mahal. Belum lagi kelesuan akibat maraknya pembajakan buku. Artinya, diperlukan pula reformasi kebijakan dari hulu-hilir agar literasi Indonesia kembali bergairah.
Diakui, kebijakan Pemerintah yang kembali gencar membangkitkan budaya literasi di tengah masyarakat patut diapresiasi. Seminar-seminar mengenai buku, work shop penulisan buku, pameran-pameran buku yang diselenggarakan di sejumlah daerah bahkan proaktifnya Indonesia untuk berpartisipasi di kancah internasional melalui Book Fair-Book Fair dan sebagainya jelas merupakan langkah positif. Menjadi ironis jadinya, saat pemerintah gencar menggiatkan segala kegiatan seperti tersebut di atas, sementara para penulisnya menjerit kesakitan.
Oleh karena itu, Protes Tere Liye patut menjadi perhatian serius pemerintah karena dapat mewakili perasaan terpendam para penulis Indonesia lainnya. Pemerintah harus menyikapi sesegera mungkin tuntutan tersebut dengan merumuskan regulasi yang ramah dan berpihak terhadap penulis Indonesia. Keseriusan Pemerintah juga diharapkan dalam menindak tegas para pembajak buku bahkan menindak penerbit buku yang gemar mengakali penulis. Bila memungkinkan, Pemerintah juga dapat membebaskan pajak atas buku-buku pendidikan dan sastra karya anak bangsa sehingga harga buku menjadi terjangkau sekaligus demi meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat (Data studi World's Most Literate Nations Ranked tahun 2016, dari 61 negara yang disurvey, Indonesia menempati peringkat 60, satu peringkat di bawah Thailand. Sementara Malaysia di posisi 53 dan Singapura 36).