Lihat ke Halaman Asli

Zahrotul Mujahidah

TERVERIFIKASI

Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Malam ini Aku Bahagia

Diperbarui: 5 Januari 2025   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lentera. Ilustrasi: ahmedsaifulloh.wordpress.com

Malam ini aku bahagia. Tanpa listrik. Tentu tanpa internet. Dari gelap yang tercipta karena trafo meledak ini, aku menemukan kebahagiaan. 

Di saat orang lain merasa susah karena tanpa penerangan di malam hari, aku malah berkebalikan. Mereka susah karena tak bisa nge-game, nonton siaran pertandingan sepakbola atau serial film.

Aku, Nia. Seorang remaja, duduk di kelas VIII, yang sangat haus kasih sayang. Ayah yang bekerja di sebuah dinas kabupaten sering sibuk dengan laptop. Ayah bekerja tak kenal lelah, tak kenal tempat.

"Ayah, di rumah itu jangan kerja!" Aku pernah memprotes kerja Ayah. Namun Ayah tak memedulikan ucapanku. Ayah sering dikejar deadline kantornya.

Tanpa tanggapan dari Ayah, aku berjalan dengan menghentakkan kaki. 

Sementara Ibuku, yang menjadi ibu rumah tangga, hanya menggelengkan kepala saat aku berjalan seperti itu. Ibu terus melanjutkan aktivitas di dapur. Baginya, memasak setiap hari merupakan salah satu cara memanjakan suami dan anak tunggalnya ini.

Ibuku sangat cantik tanpa polesan make up menor. Untunglah Ayah tak pernah memprotes penampilan Ibu.

"Meski sibuk di luar, Ayah nggak akan aneh-aneh, Nia," ucap Ayah waktu aku menanyakan, apakah Ayah merasa malu kalau Ibu berpenampilan sederhana.

Lalu meluncurlah cerita Ayah waktu Ibu bertaruh nyawa saat melahirkan aku. Ibu sempat pendarahan setelah aku lahir. Paniklah Ayah. Biasanya Ayah melihat rona wajah ceria dan penuh semangat dari Ibu, tiba-tiba Ayah melihat Ibu tak sadarkan diri. Untuk mendapatkan transfusi darah pun sangat sulit. Stok kantung darah Golongan darah A habis.

Segala macam cara ditempuh agar Ibu segera mendapatkan donor darah. Hingga akhirnya hadirlah penolong Ibu. Seorang aktivis sosial mau mendonorkan darahnya untuk Ibu. Sampai saat aku remaja, Ayah dan Ibu masih memelihara silaturahmi dengan pendonor darah itu, Pak Fathur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline