Orang bijak pernah mengatakan kalau pengalaman adalah guru terbaik bagi seseorang. Pengalaman itu bisa buruk, bisa indah.
Kalau saja aku tak mengalami pahitnya hidup di masa kecil, mungkin saja aku takkan menjadi pribadi seperti sekarang. Bisa saja aku akan menjadi manusia manja.
Ya, hari ini aku sangat bersyukur, di antara banyak sahabat di masa kecil, aku jadi salah satu alumni yang berhasil lulus kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri. Kalau dirunut bagaimana nasibku saat SD, rasanya tak mungkin kalau aku bisa meraih capaian hidup yang lebih baik.
Teman, aku sangat berterima kasih padamu. Karena kamulah aku bisa menjadi pribadi yang sekarang. Meski caramu berteman sungguh menyakitkan. Kalau orang zaman sekarang, kamu itu termasuk pem-bully ulung. Bagaimana tidak, dengan ucapanmu hampir semua teman dan guru melihatku sebelah mata dan penuh kecurigaan.
Entah apa yang kamu pikirkan saat itu. Dengan tega kamu menuduhku mendapatkan contekan saat ulangan kenaikan kelas. Padahal aku sama sekali tak mendapatkannya. Aku hanya belajar dari koleksi soal milik kakak.
Kamu tidak tahu, kalau di koleksi soal itu tidak keluar semua dalam ulangan. Kalaupun keluar, itu hanya soal se-tipe saja.
"Kata bapak, soal-soal seperti ini pasti keluar dalam ulangan nanti," ucapku dulu kala. Ucapan yang sangat lugu dan ditanggapi olehmu dengan cara yang tak terpikirkan olehku.
Kalau saat ini, mungkin maksud ucapan bapak adalah kisi-kisi soalnya hampir sama. Aku sendiri juga kurang paham dengan maksud bapak.
Yang jelas setelah itu, semua teman mengucilkanku. Termasuk kamu tentunya. Kamu pasti tak pernah membayangkan bagaimana perasaanku. Aku menangis dan takut untuk berangkat sekolah. Akibatnya Ibu dan Bapak kalang kabut.
Mereka pusing menghadapiku yang setiap pagi tidak mau berangkat sekolah.