Mungkin kau tak ingat kapan kita jadian, lamaran dan menikah. Tanggal lahirku atau anak-anak pun luput dari ingatanmu. Mau protes? Adanya cuma satu kata darimu, "Lupa!"
Aku tak tahu persis, apa kaum Adam memang senang ketika berjuang, lalu lupa saat perjuangan berhasil dan lupa untuk mengisi keberhasilan dengan merawat tumbuhan di hati wanitanya.
Kulihat kau terlalu asyik dengan duniamu. Pulang kerja, katamu lelah. Tapi istirahat tak kau lakukan. Malah pegang handphone dan menyetel laptop. Entah berapa jam kau betah dengan dua benda itu. Benda itu menjadi musuh nyata bagiku.
"Yang penting bukan musuh sama perempuan kan?"
Kalimat yang keluar darimu itu bukan membuatku melayang karena bahagia. Kau lupa, aku tak hanya butuh setiamu. Aku butuh perhatian.
Tapi sudahlah. Mungkin saja memang aku harus bersabar, mendapat imam sepertimu. Hanya saja, ada gambaran di otakku, kelak kau akan merasakan nasib seperti lelaki yang kupanggil Ayah.
Semenjak aku kecil, Ayah nyaris tak memiliki kedekatan denganku atau saudara lain. Pulang kerja, di rumah hanya membaca koran di kamar. Tak tahu bagaimana kelakuanku dan saudara yang membuat Ibu menangis.
Aku memang tak terlalu ingat dengan pengalaman bersama Ayah. Yang kuingat, aku selalu berebut untuk tidur bersama Ibu. Tak mau tidur bersama Ayah.
Ibu hanya mengakali aku biar tidur di sampingnya. Jelang tidur, Ibu mendongeng untukku hingga aku terlelap. Tengah malam, aku terjaga. Aku tak berada di samping Ibu. Malah bersama Ayah. Aku tak terima, apalagi Ibu lebih sering tidur bersama adik. Rasanya kesal.
Sejak kecil, Ayah menciptakan jarak denganku dan saudara lain. Jarang berkomunikasi. Tapi begitu aku menerima rapor, Ayah marah dan menghukumku. Tak boleh menyetel radio. Apalagi televisi.