Hampir setiap tahun para siswa dari tingkat SD/sederajat hingga SMA/sederajat mengikuti lomba keagamaan. Agenda tahunan ini sempat terhenti saat masa pandemi.
Geliat lomba keagamaan kembali terasa. Pasca pandemi, perlombaan ini kembali digaungkan. Berbagai persiapan dilakukan mulai dari mencari bibit yang akan diikutsertakan dalam lomba, dan latihan lomba sesuai cabang lomba masing-masing.
Khusus untuk mencari bibit peserta lomba, tentu guru Agama yang paling banyak berperan. Sedangkan untuk melatih lomba bisa dibantu guru kelas atau guru mata pelajaran.
Saya sendiri ikut membantu menjadi pelatih lomba untuk cabang Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ). Agak kesulitan juga untuk melatih siswa. Apalagi siswa belum familiar dengan tilawatil Qur'an. Perlu diketahui bahwa MTQ ini lombanya berupa mengaji tetapi dilagukan sesuai dengan syarat dan ketentuan lomba.
Untuk melatih siswa dalam membaca Tilawatil Qur'an atau qiroah, saya melatih langsung saat di sekolah dan memberikan rekaman. Tujuannya agar siswa yang mewakili lomba bisa berlatih di rumah. Lalu bisa dilatihkan lagi di sekolah dan seterusnya.
Selain melatih lomba, untuk tingkat Gugus, saya biasanya ditunjuk menjadi juri lomba MTQ oleh panitia, meski saya bukanlah guru Agama. Dulu saya sempat protes juga, kenapa saya diikutkan menjadi juri MTQ. Mengapa bukan guru Agama saja?
Protes dari saya ditanggapi senior saya yang kebetulan juga guru Agama. Apa tanggapan beliau?
"MTQ itu sulit, Bu. Nggak semua guru Agama bisa. Cuma satu-dua orang saja yang bisa tilawah. Saya juga nggak bisa," ujar beliau.
Kalau sudah begitu, ya saya diam saja. Alhasil, saya harus selalu siap untuk melatih lomba dan menjadi juri setiap tahunnya. Lah mau bagaimana lagi?