Terbayang di benak dan pikiranku, bagaimana nasib kaum hawa sepertiku saat masa penjajahan. Masih terbelakang dalam hal pendidikan. Perempuan yang menginjak usia remaja dihadapkan pada adat pingitan. Tak bisa bersosial dengan bebas seperti saat ini.
Perempuan berpendidikan tinggi hanya beberapa. Bisa kita lihat dan baca di berbagai literatur bahwa kebanyakan tokoh bangsa masa lalu yang mengenyam pendidikan tinggi adalah kaum Adam. Jika terlupakan, coba sejenak kau pelajari sejarah bangsa. Kalau ada yang keliru dari yang kukatakan, bisa kau beri masukan dan luruskan.
Kau jangan menertawakan aku seperti itu. Aku bisa terpesona. Hati-hatilah, kau. Jika tak hati-hati, kau akan berhadapan dengan bapakku. Kau belum terlalu mengenal karakter dan sifatnya.
Bapak terkenal sebagai sosok yang galak bagi pemuda-pemuda seusiamu. Tak jarang bapak menghardik pemuda yang menemuiku meski hanya sekedar untuk urusan menanyakan tugas sekolah semasa SMA, tugas kuliah saat sudah duduk di bangku kuliah, bukan untuk mengapeliku. Tak ada rumus atau kamus pacaran bagi anak-anak pak Sugeng, bapakku.
Kalau kau tanyakan, apakah aku mengeluh dengan keadaanku? Ada dua jawaban. Pertama, aku tersiksa karena tak bisa bebas bersahabat dengan lelaki seusiaku. Bagaimanapun aku ingin seperti teman-teman perempuanku. Mereka bisa bersahabat baik dengan lelaki. Makanya bapak menerimamu tanpa hardikan di rumah orangtuaku saja aku sudah lega.
Kedua, aku tak keberatan kalau aku dilarang jatuh cinta atau pacaran. Makanya kuingatkan padamu, kau jangan jatuh cinta padaku ya. Dilarang! Atau kau akan merasakan sakit hati.
Lalu bagaimana aku akan mendapatkan jodohku nantinya? Entahlah, aku tak tahu. Yang kutahu, semua makhluk diciptakan berpasang-pasangan. Jadi pasti Allah telah menyiapkan jodohnya untukku.
"Kau jangan bodoh, Kirana. Kalau jodoh tak kau ikhtiarkan, bagaimana bisa dapat. Kan ada ustadz yang bilang kalau harus dijemput dengan usaha dan doa," ujarmu, cukup menghujam dan menghentakkan hati serta pikiranku.
"Kau itu perempuan pintar, pasti bisa menaklukkan bapakmu untuk mengenal lelaki yang sesuai idamanmu," kembali kau mengucapkan itu.
"Aku ingin jadi perempuan bermartabat, menghormati orangtuaku, Pras. Kalau mereka ridho padaku, bukankah akan diridhoi Allah juga?" Aku berusaha menyanggah ucapanmu.