Penilaian Akhir Semester telah selesai. Koreksi lembar demi lembar jawaban para siswa sudah selesai. Seperti halnya guru lain, saya mengalami hal serupa. Melihat nilai yang bisa digunakan untuk menyanyikan notasi lagu. Doremifasol (satu, dua, tiga, empat, lima) lebih mendominasi nilai secara keseluruhan.
Untuk mengolah nilai akhirnya tersendat. Harus ada remedial. Perbaikan nilai dengan mengerjakan ulang soal yang sudah dikerjakan sebelumnya.
Saya sendiri agak pening. Dengan soal yang sama saat latihan atau persiapan PAS, kok nilainya masih juga kurang memuaskan.
Saya sadar kalau nilai bukan segalanya. Tetapi menyayangkan capaian para siswa yang nilainya tergolong rendah. Kalau hampir delapan puluh persen siswa remedial, artinya mereka tidak paham materi pelajaran yang saya sampaikan.
Saat pelajaran berlangsung sudah diberitahu bagaimana cara pengerjaan soal atau kata kuncinya. Dibahas satu persatu. Dengan dibantu temannya atau Tutor Teman Sebaya pun dilakukan.
Ah, sudahlah. Memang saya harus ingat kalau siswa itu heterogen. Kemampuan, kepribadian dan keterampilan mereka berbeda. Tidak mungkin bila saya memaksakan para siswa untuk memahami semua materi pelajaran.
Tidak semua siswa berbakat Matematika. Ada juga yang berbakat dalam bidang Seni, Sains, agama, olahraga dan sebagainya. Itu semua patut saya ingat terus. Biar tidak ada rasa kecewa berlebih ketika mendapati nilai siswa yang kurang.
Selain itu, saya juga perlu mengomunikasikan kepada orang tua siswa atau walinya akan kelebihan dan kekurangan para siswa secara seimbang.
Selanjutnya, saya perlu meminta pengertian para orang tua siswa agar tidak hanya terpantang pada angka-angka yang tercantum pada rapor atau Laporan Hasil Belajar (LHB).
Angka itu bukan segalanya. Karena bisa jadi saat pembelajaran, si anak paham. Tetapi karena sesuatu hal ---misalnya habis sakit---, siswa malah drop nilainya saat ujian tiba. Atau bisa saja karena alasan masalah keluarga, masalah teman menjadi biang dari kurang maksimalnya nilai yang diperoleh anak.