Menderita gerd dan gangguan cemas benar-benar membuat tubuhku ringkih. Selalu saja ada kekhawatiran atau rasa takut kalau terjadi sesuatu yang membahayakan tubuh.
Puasa tahun lalu, aku tak bisa menuntaskan puasa Ramadan dengan baik. Dalam hatiku menangis. Di saat orang lain berbahagia dalam menyambut dan menjalani puasa, aku malah dilanda rasa takut.
Pengobatan dari dokter spesialis penyakit dalam ternyata tak sepenuhnya membuat panas lambung mereda.
"Apa sebaiknya saya ke psikiater ya, dok?" Tanyaku kepada dokter yang menangani penyakitmu.
"Nggak usah, mbak. Ini murni karena lambungnya yang bermasalah." Terangnya.
Pada akhirnya aku membulatkan tekad untuk berobat ke psikiater. Untuk mengunjungi psikiater tentu tak langsung menjadi opsi pengobatanku. Suamiku pun melarang aku untuk ke psikiater.
"Nanti kamu minum obat terus lho, dik," begitulah pertimbangan darinya. Namun karena aku sudah merasa kewalahan, aku hilangkan persepsi buruk akan pasien para psikiater.
Ya, aku tahu di lingkungan masyarakat awam menganggap bahwa psikiater itu menangani orang yang tidak waras. Kuubah persepsiku akan psikiater. Apalagi selama beberapa bulan setelah mengalami gerd dan gangguan cemas, aku mengikuti channel dokter-dokter spesialis jiwa.
**
Kali ini aku sangat bersyukur. Bulan Ramadan ini aku berjuang untuk menyelesaikan puasa sampai bedug Maghrib tiba.