Pepatah Jawa "gedhang wohe pakel" mempunyai makna mudah bicara tetapi susah membuktikannya. Saya sengaja menggunakan pepatah Jawa ini untuk beropini tentang pendakwah.
Dahulu kala, saat saya masih remaja, pastinya sering mengikuti kultum selepas shalat tarawih atau Subuh. Pendakwah atau ustadz pengisi kultum biasanya berasal dari lingkungan sekitar.
Terkadang, dalam mensyiarkan ajaran agama tak sesuai dengan tabiat keseharian. Tampaknya sholih tetapi hubungan kemasyarakatan tak sebaik citra yang menempel pada pendakwah yang seharusnya.
Para jamaah yang sudah hafal dengan tindak-tanduk sang pengisi kultum langsung mengucapkan "Halah...gedhang wohe pakel." Selepas itu kalau pendakwah tadi mengisi kultum, banyak ditinggalkan jamaahnya.
Pendakwah atau apapun sebutannya, layaknya guru. Jadi seorang yang segalanya bisa digugu dan ditiru.
Menjadi guru sangat berat karena harus menanamkan karakter yang baik bagi siswa. Guru tak hanya mengajar tetapi mendidik. Jadi panutan bagi siswanya. Makanya wajar bila siswa lebih "nurut" pada guru daripada orangtuanya. Padahal orangtua juga berperan sebagai guru pertama bagi siswa.
Sedangkan pendakwah tugasnya lebih berat karena berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Sang Pencipta. Hablumminallah dan hablumminannaas.
Sudah barang tentu segala perilaku dan ucapan menjadi contoh bagi umat. Sekalipun tak mungkin sesempurna Nabi Muhammad Saw.
Dalam penyampaian materi pun harus benar-benar paham Kalam Ilahi dan Sunnah nabi/ hadits. Tak bisa sembarangan.
Boleh saja menggunakan gaya bahasa dan mimik wajah yang menyenangkan/lucu, tetapi esensi isi pengajian harus benar dan mudah dicerna.