Sakit itu masih terasa. Kebersamaan selama beberapa tahun bersamamu ternyata harus berakhir. Bukan karena tak saling memahami lagi. Namun restu orangtuamu tak kita kantongi. Tak ada lampu kuning, apalagi lampu hijau. Lampu merah selalu menyala.
Aku sadar kalau hubungan kita dilanjutkan, akan terasa lebih sakit nantinya. Karena rasa sayang yang semakin mendalam.
Kita harus mengutamakan orangtua. Merekalah yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang. Akan menjadi tak baik jika kita nekad, melanjutkan hubungan tanpa restu.
Aku yakin, kau adalah perempuan shalihah. Jadi, berbakti kepada orangtuamu menjadi opsi terbaik. Jangan durhaka. Takkan sanggup aku menyelamatkan stempel durhaka itu.
Air matamu terus mengalir saat kita putuskan mengakhiri kisah dengan baik-baik. Sedang aku hanya bisa menahan dan berusaha untuk tak menumpahkan air mata.
**
Beberapa waktu lalu kudengar kalau kau sudah dilamar lelaki yang lebih baik dariku. Lelaki pilihanmu setelah sekian lama kau memendam luka karena perpisahan kita.
Aku bahagia mendengarnya. Meski terkadang aku menyesali perpisahan kita. Apa daya, kasih tak sampai pun harus kuterima dengan lapang dada.
Tak tahu, apakah aku nanti akan menghadiri pernikahanmu. Aku belum bisa mengukur diri, bagaimana jika kumelihat kau bersanding dengan lelaki lain.
Akupun tak yakin kalau kau akan mengundangku dalam acara walimahanmu. Saat berjumpa denganku saja, tak ada sapa lagi. Buang muka, itu yang kau lakukan.