Saya tertarik mengangkat masalah yang tanpa sengaja saya dan teman-teman grup bahas. Dan kebetulan akhir semester ganjil tahun 2021/2022 juga hampir tiba. Antara akhir bulan November-awal Desember akan diadakan UAS (Ulangan Akhir Semester).
"Kelas bawah (I-III), mungkin bisa membaca. Tapi, apakah mengerti yang dibaca? Yang tua-tua aja, sering gagal baca dan berujung gagal paham."
"Naaah, makanya dilatih membaca. Biar nggak gagal baca kayak gurunya."
Chat di sebuah grup membuat saya teringat pada pengalaman saat Ulangan Tengah Semester (UTS) dan Ulangan Akhir Semester (UAS). Saat itu saya mengajar di kelas III. Hampir selama 6 tahunan.
Setiap kali UTS/UAS saya selalu membacakan soalnya. Anak-anak saya minta untuk menyimak lembaran soal yang telah saya bagikan. Tentu saja, terlebih dahulu para siswa saya minta untuk mengisikan identitasnya masing-masing.
Kenapa saya harus membacakan soal saat UTS/UAS ---sekarang disebut Penilaian Tengah Semester (PTS)/Penilaian Akhir Semester(PAS)---? Bukankah saat ujian, suasana sekolah harus sepi dan tenang?
Kita tentu ingat, saat kelas VI EBTA-EBTANAS (sebutan UN pada saat saya masih SD-SMA), di halaman sekolah atau tempat strategis lainnya selalu terpampang papan tulis yang berisi peringatan untuk tenang. "Harap Tenang, Ada Ujian!" Kurang lebih seperti itu.
Terkait dengan pembacaan soal oleh guru saat UTS/UAS, saya pernah ditegur Kepala UPT yang melakukan sidak pelaksanaan ujian.
"Ini ngapain? Bukannya menjaga ketenangan, kok malah berisik. Rame! Kalau ujian itu yang tenang."
Saya terhenyak dan terdiam. Memang ada benarnya peringatan Kepala UPT itu. Namun saya teringat bahwa yang saya hadapi saat ujian adalah anak-anak kelas III yang belum tentu paham teks atau soal yang ada.