"Ibu, ini cincin ibu ya?"
Si sulung melihat cincin yang sengaja saya letakkan di atas kulkas saat mencuci piring dan gelas. Akhir-akhir ini cincin sengaja saya lepas saat melakukan aktifitas itu. Khawatir kalau akan tergores. Kalau mau beli lagi, emak-emak harus berpikir ribuan kali. Mendingan uang buat kebutuhan pokok harian. Heheh. Begitulah.
"Iya, ndhuk. Nanti taruh lagi di atas kulkas ya!" Pesanku sambil melanjutkan asah-asah ---istilah mencuci piring dan gelas---.
"Mmm... berarti ini cincin pernikahan ibu ya?"
Saya tersenyum. Saya mengira-ngira kenapa si sulung mengenal istilah cincin pernikahan. Pasti sering mendengar dari teman atau saudara yang mau menikah.
"Ibu nggak punya cincin pernikahan, ndhuk..."
"Kok bisa? Biasanya kalau orang menikah 'kan punya cincin pernikahan..."
Pertanyaan serupa dilontarkan kepada bapaknya sepulang kerja.
"Kenapa ibu sama bapak nggak pake cincin pernikahan?"
Pertanyaan polos yang dilontarkan si sulung memang wajar. Orangtua temannya kemungkinan besar mengenakan cincin pernikahan. Kenapa orangtuanya malah tak mengenakan?
Bukan rahasia, memang saat dilamar atau ijab kabul kami tak menyematkan cincin. Saat mau menikah dulu, calon suami juga sempat bertanya kenapa saya tak mau mengenakan cincin. Padahal meski dia masih prihatin perekonomiannya, pasti akan "bela-belain" membeli cincin pertunangan atau cincin pernikahan.