Selama seminggu ini, pagi-pagi seperti biasa, saya jalan santai. Mengelilingi dusun. Menghirup udara pagi yang segar dan baik untuk kesehatan.
Ketika saya hampir sampai perbatasan dusun, saya bertemu dengan seorang perempuan mengenakan kebaya dan berjarik. Saya begitu asing dengannya. Saya yakin perempuan itu berasal dari dusun sebelah.
Meski asing, saya tersenyum dan menyapanya. Saya merasa ada yang beda dengan pagi ini. Biasanya saat jalan-jalan, perbatasan dusun sepi. Setiap jalan-jalan saya tak bertemu siapapun.
"Jalan-jalan, Bu?" Tanya perempuan itu.
"Nggih..."
"Nggih. Kajenge lemes nggih, Bu...". Saya tahu maksud perempuan itu biar badan fresh dan rileks.
Tak lama dari arah belakang saya ada pengendara motor yang membawa ayam. Barulah saya ingat kalau hari Jumat ini pasaran Pahing.
Pasaran Pahing bagi orang desa seolah menjadi lebarannya dari semua pasaran yang ada. Dibandingkan dengan pasaran Pon, Wage, Kliwon,dan Legi, pasaran Pahinglah yang paling ramai. Dari fisik pasarnya pun, pasar Pahing lebih luas. Penjual pastinya lebih banyak.
Saya kembali ingat bahwa setiap pasaran Pahing itulah di perbatasan dusun selalu beda. Itu saya ketahui sejak kecil. Di perbatasan dusun selalu ada seorang tengkulak yang biasa membeli ayam-ayam yang dijual warga.
Warga bisa membawa ayam yang telah ditangkap pada petang sebelumnya ke perbatasan dusun ini. Ya, biasanya mereka lebih memilih menjual di perbatasan dusun ini ketimbang dijual di pasar Pahing karena lokasinya cukup dekat dan warga tidak merasa harus sampai Pasar Pahing di pusat kecamatan atau kapanewon.
Saat menjual ayam-ayamnya antara warga dan pedagang itu bisa tawar-menawar harga. Warga yang membawa ayamnya biasanya mematok harga terlebih dahulu. Nah, kalau harga tidak cocok maka tengkulak itu menawar harga di bawah penawaran harga dari warga. Warga akhirnya manut pada tengkulak ayam tadi.